Merawat Budaya Lokal Lewat Tradisi “Bersih Kubur Suroan” di Desa Sokaraja Lor

Setara dalam Berkeyakinan
November 8, 2021
Moderasi Beragama: Mayoritas Menghargai dan Melindungi yang Minoritas
November 25, 2021

“Di tanah kita agama dan tradisi saling memberi arti, membuka peluang untuk saling menghargai,”
Najwa Shihab

Daerah Jawa memang terkenal akan tradisi budaya lokalnya yang sudah melekat dari generasi ke generasi. Bersih kubur suroan menjadi salah satu tradisinya. Bersih kubur suroan merupakan suatu tradisi yang ada di desa sokaraja lor, banyumas, jawa tengah.

Pemaknaan bersih kubur suroan merupakan pengejewantahan sikap gotong-royong masyarakat sokaraja lor terhadap “makam”. Bersih kubur suroan merupakan suatu tradisi yang dilakukan dibulan Muharram dengan mengunjungi tempat pemakaman dalam rangka untuk membersihkan lingkungan “makam”. Pelaksanaan bersih kubur dilakukan dihari minggu pagi diantara tanggal 8 – 10 Muharram. Pada kali ini karena situasi masih pandemi, pelaksanaan bersih kubur suroan dilakukan menggunakan prokes ketat. Semua elemen masyarakat terlibat dalam tradisi ini; pemerintah desa, satgas covid, masyarakat umum, dan kyai/gus.

Kebanyakan yang terjun ke-lapangan yaitu kaum laki-laki, sedangkan kaum hawa -ada beberapa yang dilapangan juga- menjadi tim dapur, untuk mempersiapkan hidangan makanan. Tradisi ini mengandung pesan moral buat masyarakat untuk selalu guyub rukun, damai, dan adil.

Persepsi orang yang men-stigmasi negatif “makam” bahwa itu kotor, mistis, dan angker, tentu akan berdampak pada peminatan peziaroh ke makam para leluhur menjadi sedikit. Padahal dengan ziaroh memberikan doa (yasin, tahlil) itu penting karena disamping sebagai wasilah untuk para leluhur juga dapat memuhasabah diri bahwa kematian itu hal yang pasti terjadi -bisa kapan saja-, dan mengingat akhirat. Ketika tempat “makam” itu sudah bersih, “enak” dipandang, tentu akan menimbulkan peminatan peziaroh dan dapat melakukan do’a dengan khusyu’ & tenang. Hal ini senada dengan ungkapan warga:

“Disamping tradisi turun temurun, tradisi bersih kubur akan menjadikan makam sebagai tempat yang nyaman, bersih sehingga menarik minat orang-orang berziaroh dengan khusyu’, jangan sampai melupakan para leluhurnya”

Kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini, para warga saling bahu membahu gotong royong, diselipi “guyonan” khas bapack-bapack; menyapu, membersihkan rumput sekitar, memotong ranting-ranting dahan pohon, membersihkan jalan menuju makam. Alat yang dibawa yaitu pancong, sapu lidi, cangkul, sabit dan alat pembersih lainnya.

Ketika saya menelusuri ternyata ada salah satu turunan dari indikator moderasi beragama yang diterapkan di desa sokaraja lor, yaitu akomodatif terhadap budaya lokal. Tradisi bersih kubur suroan yang notabane menjadi budaya lokal sokaraja lor menjadi refleksi bagi masyarakat untuk senantiasa menerima tradisi budaya lokal selama tradisi tersebut tidak berbenturan dengan doktrin pokok agama.

Kelomok “ekstrem” kanan yang suka mengkafirkan orang yang tidak sepaham dan terhadap orang yang tidak mau mengambil hukum Allah sebagai hukum utama (takfir)(Noorhaidi Hasan, Najib Kailani, Munirul Ikhwan, Ahmad Rafiq, Nina Mariani Noor, Mohammad Yunus, 2021), suka membid’ahkan tradisi-tradisi menganggap bahwa perbuatan tersebut lebih dekat dengan tahayul, kufarat dan kesyirikan. Maka dari itu ziarah kubur itu dianggap sesat (dhalal), bid’ah (heresy) atau musyrik. Padahal ketika mengunjungi makam sejatinya untuk mendo’akan, selain itu refleksi terhadap diri sendiri bahwa kematian itu pasti datang kapan saja.

Ketika pengamalan tradisi budaya lokal dianggap sesat dan musyrik, justru orang-orang seperti inilah menurut kemenag dianggap moderat karena memiliki kecenderungan lebih santun, toleran dalam rekognisi tradisi dan budaya lokal da­lam perilaku keagamaannya, selama tidak berbenturan de­ngan pokok ajaran agama(kementrian Agama RI, 2019).

Dengan adanya praktik tradisi bersih kubur suroan akan menjadikan masyarakat sokaraja lor semakin meyakini keyakinannya masing-masing, dengan begitu akan semakin menghargai keyakinan orang lain #meyakinimenghargai.

Ada beberapa living values dari adanya tradisi bersih kubur suroan, yaitu:

  1. Nilai Ukhuwah

Ukhuwah memiliki arti yaitu persaudaraan. Dalam tradisi bersih kubur suroan sangat kental rasa persaudarannya terbukti dengan tidak adanya para warga yang membeda-bedakan warga asli dan warga pendatang dari luar. Kaum adam rasa persaudaraannya terwujudkan dari implementasi terjun di lapangan, dalam pelaksanaan juga terselip “guyonan-guyonan khas bapack-bapack” yang menjadikan suasana lebih akrab dan “intim”. Kaum hawa terjadi di belakang layar yaitu tempat dapur, ibu-ibu dan perempuan lain membuat hidangan dengan penuh “cinta” sehingga tidak hanya sekedar makanan tetapi dibungkus dengan rasa emosional persaudaraan.

  • Nilai tolong menolong

Sikap tolong menolong warga sokaraja lor menjelma menjadi kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Sikap ini dilakukan dengan penuh suka rela, tanpa berharap akan mendapatkan pertolongan balik. Atas dasar itulah, rupa-rupanya terkonstruksi sikap saling membutuhkan satu sama lain. Jikalau ada warga yang tidak membawa peralatan bersih-bersih maka akan dipinjami oleh warga lain. Selain itu perwujudan tolong menolong warga ketika ada salah seorang warga missal kesusahan menebas dahan dahan ranting, maka dengan sendirinya warga akan datang dan ikut membantu. Itu bentuk dari sikap tolong menolong.

Selain itu tolong menolong terjadi ketika pengambilan makanan. Warga tidak egois mengambil makanan untuk dirinya, tetapi mengambil agak banyak yang kemudian membagikan ke warga lain yang belum dapat dan akhirnya para warga makan bersama.

  • Nilai empati

Nilai ini manifestasi terhadap para leluhur yang sudah meninggal, walaupun sudah beda alam (ghaib) tetapi kita -yang masih hidup- masih dapat memiliki keterikatan batin yaitu dengan men-do’a-kan. Ketika tempat pemakaman bersih, nyaman, dan enak dipandang maka akan mengundang para peziarah untuk datang dan mendo’akan dengan lebih khusyu’, tenang kepada para leluhurnya. Karena salah satu amalan yang tidak pernah terputus walaupun sudah meninggal kata Kanjeng Nabi yaitu anak sholeh yang mendo’akan.

  • Nilai akhlak

Ruang lingkup akhlak menurut Asmuni (2017) “akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap manusia, dan akhlak terhadap alam”(Asmuni, 2017). Dalam konteks tradisi bersih kubur suroan terdapat nilai akhlak terhadap Allah, manusia dan alam.

Nilai akhlak terhadap Allah ter-internalisasi-kan oleh warga bahwasannya Allah sebagai pengendali dari kehidupan (kelahiran, kematian, dan semua kehendak-Nya) alhsail perwujudannya semakin mengimani qada qadar.

Nilai akhlak terhadap manusia terwujud dalam interaksi sosialnya yang ramah dan penuh “unggah-ungguh”. Ketika masyarakat sadar bahwa kelak juga akan mengalami seperti diliang lahat yaitu menjadi tulang-belulang dan yang dibawa yaitu amalnya, maka akan terbentuk perilaku warga dalam berinteraksi dan sosialisasi sesuai dengan tuntutan ajaran agama Islam. Akhlak terhadap manusia lainnya tercipta dari pembangunan tempat cuci tangan, karena sekarang zaman pandemi, maka dari itu para warga membuat tempat cuci tangan yang berguna membersihkan virus-virus sehingga mampu menjaga satu dengan lainnya.

Nilai akhlak terhadap alam terwujud dari adanya warga yang merawat tumbuhan/pohon yang ada disana. Tumbuhan duri, rumput-rumput liar akan ditebas, pohon yang tidak mengganggu akan “dipercantik”. Jalur setapak yang menghubungkan ke “makam” dibersihkan, lampu-lampu buat penerangan malam hari juga dipasang, dengan begitu stereotype negatif tentang makam akan hilang.

Gambar kegiatan bersih kubur suroan

Referensi:
1. Asmuni. (2017). Konsep Akhlaq Sebagai Penggerak Dalam Islam. Raudhatul Athfal: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 1(2), 1–18. https://doi.org/10.19109/ra.v1i2.2673
2. Kementrian Agama RI. (2019). Moderasi Beragama. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
3. Noorhaidi Hasan, Najib Kailani, Munirul Ikhwan, Ahmad Rafiq, Nina Mariani Noor, Mohammad Yunus, A. M. (2021). Narasi Ekstremisme Keagamaan Di Indonesia. PusPIDeP.

Penulis: Muhammad Muzadi Rizki
Juara 2 CONVEY Article Competition

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fourteen − seven =

English