Pernahkah Anda menerima narasi atau menyebarkannya?
Kebanyakan orang mungkin berkata tidak, saya bukan pendongeng
Narasi tidak hanya berkutat pada kalimat panjang yang hanya mengisahkan cerita fiksi belaka, bila pemahaman Anda seperti itu, saya hanya ingin meluruskan pengertian narasi lebih luas dari yang diketahui banyak orang.Narasi adalah pengisahan suatu cerita atau kejadian (sumber: KBBI).
Dengan demikian saya yakin di dalam setiap kehidupan, narasi selalu ada untuk mengisi keseharian kita. Tanpa sadar kita tumbuh menjadi manusia melalui narasi, kita pasti pernah mendengar mitos atau legenda yang disampaikan oleh para tetua, menerima didikan dari orang tua mengenai cara bertingkah laku, menerima pengetahuan dalam berbagai bidang di sekolah, bahkan menjadi cerdas setelah bergaul dengan teman kita. Banyak media dapat menjadi wadah penyebaran narasi, tidak hanya narasi yang berasal dari manusia secara langsung tetapi juga dapat melalui buku, film, dan tentu saja gudang narasi yaitu, internet.
“You can’t connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something — your gut, destiny, life, karma, whatever”.
Steve Jobs
Tampaknya titik-titik kecil itu juga dapat dianalogikan menjadi potongan cerita dalam hidup kita, setiap detik, menit, bahkan hari dalam menjalani aktivitas, kita menyerap berbagai informasi dan menceritakannya kepada orang lain. Itulah yang disebut jejaring sosial, ada kalanya informasi lebih berharga daripada emas.
Namun, apakah informasi yang dibagikan benar-benar valid dan dapat dibuktikan?
Who knows?
Lalu mengapa jejaring sosial memberikan informasi yang belum tentu benar?
sumber: https://www.womenyoushouldfund.com/the-power-of/
Saya ingin membagikan perspektif Psikologi Naratif sebagai dasar jawaban atas pertanyaan ini.
Psikologi Naratif merupakan salah satu perspektif dalam psikologi yang menjelaskan bahwa manusia memaknai hidupnya melalui cerita yang ia bangun dari pengalaman dirinya dan orang lain. Cerita inilah yang membentuknya menjadi manusia, sewaktu kecil mungkin ia tidak tahu apa tujuan hidupnya dan tidak menyadari alasan ia untuk bertahan hidup di muka bumi tetapi semakin berjalannya waktu ia melewati pengalaman dan mendapatkan “cerita” yang menuntunnya kepada suatu makna. Kemungkinan hal inilah yang ingin Steve Jobs sampaikan.
Tanpa disadari manusia adalah seorang pendongeng yang handal, ia membagikan pendapat, berita, pengetahuan, dan informasi kepada orang lain. Selain itu, manusia juga pendengar dan penerima informasi yang unggul ketika hewan diberikan perintah untuk berdiri kemungkinan besar mereka akan kebingungan tetapi manusia sangat paham bahwa perintah tersebut merupakan informasi yang harus dilakukannya.
Selain karena manusia yang secara mendasar menjadi pendongeng dan penerima informasi mereka juga memiliki suatu fakta yang tidak terbantahkan bahwa perasaan, pengalaman, dan persepsi memainkan peran penting dalam suatu tingkah laku. Oleh karena itu, cerita yang cenderung “panas” akan lebih mungkin disebarkan dengan cepat daripada cerita membosankan yang mengandung fakta belaka.
Dengan demikian, tidak mengherankan informasi yang dibagikan dapat berbanding terbalik dengan fakta yang ada. Nampaknya kekuatan narasi telah disadari manusia penjajah di abad ke-17 yang menjadi penyebab utama perpecahan antara Kesultanan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bone, mereka memanfaatkan kekuatan pendongeng yang dimiliki manusia dan perasaan yang melebihi logika. Dengan kondisi masyarakat yang masih memiliki latar pengetahuan yang kurang dan transparansi yang masih menjadi cita-cita belaka, tidak mengherankan kekuatan narasi dari manusia penjajah berhasil memecah belah kedaulatan wilayah tersebut. Sementara kedua kerajaan saling berseteru sekelompok manusia penjajah, yaitu VOC menikmati keuntungan atas perpecahan itu dengan berlenggang ria dalam monopoli perdagangan saat itu
Adu Domba Modern: Narasi
Indonesia dikenal sebagai negara yang menghormati perbedaan, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, negara ini memiliki lebih dari 17.000 pulau yang kaya akan budaya, agama, etnis, dan ras yang ada. Selain itu, Indonesia juga berhasil membuktikan bahwa negara ini mampu menggunakan sistem Demokrasi Pancasila sebagai dasar dalam menjalankan pemerintahannya. Setidaknya hal tersebut masih diingat masyarakat Indonesia dan semoga saja tidak menjadi kenangan belaka.
Seiring perkembangan teknologi dan komunikasi, manusia dapat bertukar informasi dengan cepat dan dapat mengetahui cerita yang terjadi di negara tetangga, bahkan kedatangan tamu asing pun terekam melalui jejak dokumentasi media di internet. Apabila dapat berandai hal ini terjadi di abad ke-17 bagi masayakat di daerah Makassar maka kemungkianan besar mereka akan bekerja sama dalam menganstisipasi dan menyusun strategi untuk melawan penjajah. Namun, apakah transparansi begitu membanggakan? Saya berasumsi tidak selalu, semakin fleksibelnya ruang dan waktu, semakin banyak informasi yang tidak di-filter beredar.
Sungguh menakutkan bukan, pernahkah anda membayangkan apa yang anda bagikan dapat berdampak kepada kehidupan orang lain, komunitas, golongan, atau bahkan suatu negara? Pernahkah anda mrmikirkan bahwa informasi yang anda bagikan dapat mengubah perspektif orang lain mengenai suatu issue?
Photo by Gabby K on Pexels.com
Lembaga survei Our Family Program menunjukkan 5 dari 7 orang tua menerima ujaran kebencian untuk melawan suatu agama, ras, bahkan etnis tertentu yang bersumber dari media sosial. Pernyataan ini dilaporkan narasumber dalam sebuah webinar berjudul “Roles of Family in Religious Moderation” yang dikutip dari Convey Indonesia, hal ini cukup meresahkan bagi kita mengingat orang tua merupakan pihak yang pertama kali mendidik anak-anak mereka. Penyebaran informasi yang semakin pesat menjadikan media sosial sebagai alasan yang lumrah dalam sarana adu domba masyarakat.
Media sosial bukanlah pokok daripada kekacauan tersebut tetapi narasi yang telah memasuki jejaring sosial itu yang patut dipermasalahkan. Dengan kemajuan yang semakin pesat di bidang komunikasi, kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan media sosial dan segudang narasi buruk yang tersebar karena setiap pendongeng di sana tidak memiliki tanggung jawab legal terhadap penerima informasi. Kesadaran menjadi kunci utama bagi kita untuk tergerak mengantisipasi berbagai dampak buruk yang berkeliaran di sistem jejaring sosial saat ini.
Ujaran kebencian hanyalah satu dari sekian banyak narasi yang dapat memicu perpecahan dalam masyarakat, pengaruh yang dibawa ke dalam penerima informasi pun dapat terus menyebar luas seiring berjalannya waktu dan dapat secara tidak langsung mengubah perspektif seseorang terhadap perbedaan di lingkungan sekitarnya. Hal ini dibuktikan oleh survei yang dilakukan Survei Media and Religious Trends in Indonesia (MERIT) yang menyatakan bahwa isu agama disebarkan melalui media sosial ditunjukkan bagi kepentingan politik tertentu, sehingga mengubah tren narasi agama di masyarakat. “Wacana keagamaan di media sosial didominasi oleh narasi konservatif dengan 67,2%, disusul narasi moderat dan liberal dengan masing-masing 22,2% dan 6,1%. Terakhir adalah narasi Islamis dengan 4,5%” dikutip dari Convey Indonesia. Dengan demikian bukan perbedaan kepercayaan yang menyebabkan konflik di dalam politik.
Sosial media merupakan suatu wahana masyarakat untuk saling bertukar informasi, sehingga sangat krusial untuk menjaga lingkaran sosial yang sehat di sekitar kita. Sirojuddin Arif, narasumber dalam seminar “Political Identity Politics and Religious Moderation” yang diselenggarakan oleh Convey Indonesia berpendapat lingkungan sosial, tempat kita berinteraksi memberikan dampak terhadap preferensi politik seseorang, semakin aktif seseorang menghadiri acara keagamaan semakin tinggi alasan seseorang untuk memilih calon politikus yang “sama” dengannya. Tidak mengherankan bahwa isu politik seringkali dikaitkan dengan intoleransi di negara ini. Kita dapat kembali sejenak mengingat kasus Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 lalu.
Seperti yang dikatakan oleh Burhanuddin Muhtadi, “Agama diyakini mampu mempengaruhi perilaku pemilih, dan ada korelasi yang signifikan antara afiliasi keagamaan dengan dukungan yang diterima calon”. Faktanya isu intoleransi mulai meningkat saat mendekati momentum politik, seperti pemilihan kepala daerah. Burhanuddin Muhtadi berpendapat hal tersebut dipicu oleh sentimen dan mobilisasi yang dikontrol oleh partai tertentu, sehingga mengubah perspektif masyarakat dalam memandang agama dan etnis calon yang akan dipilihnya.
Apakah kita sudah melupakan identitas bangsa Indonesia, berbeda-beda tetapi satu juga?
Apakah saudaramu harus pandang sebelah mata karena berbeda?
Tidak kah kita sadar bahwa di zaman sekarang kekuatan narasi masih meraja lela, tidak lagi manusia dari negara seberang yang ingin memecah pihak berkepentingan pun dapat memanfaatkan momentum penyebaran informasi yang cepat untuk mengubah perspektif masyarakat mengenai perbedaan.
Mencari Kunci yang Hilang
Kita telah mengetahui bahwa kekuatan narasi dapat mengubah persfektif seseorang dalam memandang perbedaan yang terjadi di sekitarnya. Apabila dibiarkan lambat laun berbagai jenis informasi yang beredar juga dapat mengubah keyakinan seseorang akan suatu hal.
Seperti mencari kunci yang hilang, terkadang kita tahu bahwa letak dari kunci tersebut ada di dekat kita tetapi kita lupa di mana letak spesifik kunci itu berada. Banyak dari masyarakat lupa bahwa mereka tinggal di Indonesia, kemajemukan dan perbedaan telah menjadi hal yang lumrah. Kita terlahir di Indonesia dengan warna kulit yang mungkin berbeda dengan saudara di pulau lain, budaya kita dapat saja berbading terbalik dengan daerah di seberang kita berada, kepercayaan kita kemungkinan besar berbeda-beda. Namun kita semua, berada di dalam satu payung yang mencintai perbedaan, Indonesia yang memiliki Bhinneka Tunggal Ika.
Saudara, mari kita saling #MeyakiniMenghargai dalam setiap perbedaan yang ada, manusia begitu uniknya terlahir di dunia. Setiap dari kita memiliki perbedaan, sidik jari kita pun diciptakan berbeda-beda.
Bagaimana jika kita menyebarkan narasi untuk meningkatkan toleransi di negara ini?
Ingat, seperti mencari kunci yang hilang, identitas negara ini pun demikian. Letaknya dekat dengan kita tetapi kita melupakan spesifiknya ada di mana. Sadarkah Anda bahwa kunci menjadi pengendali dari suatu kendaraan? Kunci juga dapat membantu kita membuka dan menutup, begitu besarnya kekuatan kunci itu.
Mari kita bergerak bersama mengembalikkan Bhinneka Tunggal Ika!
Toleransi hanya akan tercapai ketika kita ingin berkerja sama, Anda dapat memulai dari hal yang sederhana seperti mengakses narasi positif yang dapat membangkitkan kesadaran kita mengenai perbedaan. Convey Indonesia merupakan gudang narasi, diulik melalui sudut pandang berbeda yang selama ini dilupakan kebanyakan manusia pendongeng di jejaring sosial.
#MeyakiniMenghargai untuk Bhinneka Tunggal Ika.
Karya: Lawinasarita
Dalam Kompetisi Blog Artikel CONVEY 2020