Posisi Perempuan dalam Lingkaran Ekstremisme

CONVEY ARTICLE COMPETITION
October 22, 2021
PERGESERAN PERAN PEREMPUAN DALAM AKSI TERORISME
October 22, 2021

Jakarta, PPIM UIN – Perempuan difigurkan sebagai makhluk yang anggun, mengayomi, dan penyayang. Namun kini perempuan justru banyak terjerumus dalam pusaran ekstremisme. Demikian paparan Dete Aliah, S.Sos., M.A., peneliti terorisme SeRVE Indonesia dalam webinar Moderasi Beragama seri ke-25 yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program CONVEY dengan tajuk “Perempuan dalam Lingkaran Ekstremisme: Eksistensi atau Eksploitasi?”, Jumat (15/10). Dete lebih jelas  memaparkan bagaimana perempuan bisa terlibat dalam berbagai aksi ekstremisme. 

Diawali dengan pemaparan data yang telah dikumpulkannya Dete menjelaskan sejumlah angka yang menunjukan keterlibatan perempuan Indonesia yang tergabung dalam gerakan teroris dengan berbagai macam kasusnya di berbagai negara. 

“Sekarang sudah hampir 500-an ya perempuan kita yang terlibat gerakan teroris,” ujar Dete. 

Dete juga menambahkan jika hingga saat ini masih banyak perempuan yang ditahan di mancanegara akibat aksinya, salah satunya kasus tiga perempuan di Singapura yang ditahan akibat keterlibatannya dalam pendanaan teroris. 

“Jadi  mereka ini buruh migran. Buruh migran ini juga menjadi target dari perekrutan. Para perempuan-perempuan ini direkrut terpapar lewat sosial media terus kemudian mereka tumbuh ghirahnya untuk mendukung kelompok ISIS, kemudian dari gajinya dia sebagai buruh migrain itu dipakai untuk mendanai aksi teror baik di dalam negeri maupun di luar,” tambah Dete menjelaskan. 

Banyaknya perempuan terlibat dalam aksi violent extremism, menurut Dete Aliah, besarnya dipengaruhi oleh adanya brainwashed/ cuci otak khususnya mengenai ideologi dan dengan narasi yang bermacam-macam. Beberapa narasi yang digunakan tersebut disebutkan Dete di antaranya: pemerintahan yang dianggap thogut,  mendukung berdirinya khalifah, adanya janji syahid berupa surga dan syafaatnya, solidaritas Islam, berpindah kewarganegaraan di negara berhukum Islam. Dete Aliah mengungkap jika banyak perempuan justru menjadi narator dalam penyampaian narasi-narasi tersebut.

Selain karena adanya brainwashed, keterlibatan perempuan dalam lingkup extremisme juga dipengaruhi oleh adanya motivasi untuk balas dendam, kekecewaan karena mengalami KDRT, putus cinta, atau belum menikah, dan kepercayaan akan kesetian pada suami dalam ajaran agama. 

“Nggak kalah kita juga punya Black Widow. Itu adalah kumpulan-kumpulan perempuan yang suaminya meninggal karena pada saat penangkapan atau ditembak mereka frustasi, kecewa kemudian mereka balas dendam kepada negara karena dianggap membunuh suaminya,” ungkap Dete. 

Lebih lanjut Dete juga mengungkapkan jalan-jalan yang digunakan jaringan terorisme dalam perekrutan perempuan dalam aksi-aksi terorisme. Beberapa jalan perekrutan tersebut di antaranya: kelompok radikal/ teroris, keluarga, pasangan, teman, dan keinginan diri sendiri. 

“Jadi ini polanya bukan cuma sekadar offline tapi juga online. Ini medianya banyak bisa WhatsApp, kalau belum kenal lewat Facebook dulu diadd nanti udah diajak ngomong sering komunikasi akhirnya ditarik ke media yang lebih privat. Nah, dari situlah dia dibrainwashed.”

Jika mempertanyakan posisi perempuan dalam ekstremisme, Dete menyimpulkan, hadirnya perempuan dalam lingkaran ekstremisme bukanlah pertanda dari keeksistensian perempuan, melainkan adanya eksploitasi oleh para kelompok radikalisme dalam mencapai tujuannya. 

Penulis: Surnawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen + ten =

English