Menitik Penyebab Mundurnya Amerika Serikat Dari Afganistan

Melihat Masa Depan Kekerasan Ekstrimisme Afganistan di Tangan Taliban
September 21, 2021
Eksekutif Direktur CSIS Indonesia: Masyarakat Indonesia Damai tapi Semu
September 22, 2021

Gambar: Philip J. Vermonte dan Jamhari Makruf/ Webinar Moderasi Beragama Series 24 "Thaliban dan Counter-Violent Extremism (CVE) Global"

Jakarta, PPIM UIN –  Berbagai insiden kemanusiaan terus terjadi di Afghanistan setelah Taliban kembali berkuasa. Apa yang menyebabkan tentara Amerika Serikat mundur dari Afganistan setelah 20 tahun lamanya menempati negara pecahan Rusia tersebut?

Pertanyaan itu dijawab Philips J. Vermonte, Executive Director of Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia dalam webinar Moderasi Beragama seri ke-24 yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program CONVEY dengan tajuk “Taliban dan Counter Violent-Exremism Global”, Jumat (17/09). Philips mengungkapkan bahwa banyaknya intervensi internasional terhadap potensi genosida memiliki dua sisi berbeda, bisa berhasil atau justru sebaliknya. 

“Persoalan Afghanistan itu mungkin adalah contoh yang ketika masuk tidak punya exit strategy. Jadi masuk karena mungkin situasi emosional, situasi keterburu-buruan. Karena mungkin bagi Amerika secara psikologis runtuhnya bangunan yang dihantam al-Qaeda adalah jantung dari image Amerika, sehingga mungkin ketika itu mereka tidak cukup rasional. Akibatnya masuk ke Afganistan tanpa exit strategy planning yang baik,” Philips J. Vermonte memaparkan. 

Exit strategy planning sendiri yang dalam konteks ini strategi militer merujuk pada strategi yang digunakan militer guna meminimalisir dampak dari kekalahan. 

Philips juga menjelaskan bahwa cost atau biaya yang dihabiskan Amerika selama 20 tahun menempati Afganistan mencapai 2 triliun US$ atau sekitar 14.000 triliun lebih. Dengan cost sebanyak itu, Philips menilai mungkin tidak bisa ditanggung lagi oleh Amerika karena mereka juga memiliki prioritas lain.  

Lebih lanjut Philips mengatakan, negara untuk bisa menjadi super power maka harus memiliki International Public Goods, yakni penjamin peace dan security. Berbeda dengan konteks genosida di Bosnia ketika Amerika dapat menyelesaikan  konflik sampai Bosnia merdeka, konteks Afghanistan Amerika dinilai enggan melakukan intervensi, dan tidak adanya keinginan untuk menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi Afghanistan. 

Webinar ini dipandu Jamhari Makruf, Team Leader CONVEY Indonesia, yang membahas bagaimana potensi kekerasan extremism di Afganistan ked epannya serta bagaimana sikap yang sebaiknya dilakukan Indonesia terhadap kemungkinan munculnya golongan seperti Taliban di Indonesia. 

Penulis: Surnawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine + 20 =

English