Jakarta, PPIM UIN – Setelah 20 tahun lamanya menempati Afganistan, tentara Amerika Serikat berbondong-bondong meninggalkan bandara Kabul. Kekuasaan pun kembali ke tangan Taliban. Memiliki jejak sejarah yang kurang baik khususnya dalam hal hak perempuan dan anak, kembalinya Taliban menguasai Afghanistan memang cukup mengkhawatirkan sejumlah negara.
Philips J. Vermonte, Executive Director of Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia menegaskan, kekerasan di Afghanistan selama 20 tahun terakhir telah menimbulkan banyak korban. Antara 2001-2021 kekerasan di Afghanistan telah menyebabkan kematian setidaknya 46 ribu orang. Hal ini terjadi diakibatkan karena adanya gerakan perlawanan tentara Taliban terhadap pemerintahan yang berkuasa. Hal ini disampaikan Philips dalam webinar Moderasi Beragama seri ke-24 yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program CONVEY dengan tajuk “Taliban dan Counter Violent-Exremism Global”, Jumat (17/09).
Philips mengatakan, khusus pada 2021 tepatnya beberapa bulan sebelum Kabul jatuh, kekerasan diindikasi terus mengalami peningkatan. Kekerasan yang dilakukan Taliban terhadap masyarakat sipil meningkat semakin berlipat.
Ia memaparkan, untuk menciptakan citra baru Afganistan kini mencoba membranding diri sebagai gerakan politik moderat. Beberapa cara yang dilakukan Taliban adalah menawarkan amnesti kepada lawan-lawan politiknya, menjanjikan melindungi hak asasi manusia, juga menjanjikan pendidikan untuk perempuan. Sayangnya hal tersebut tidak sejalan dengan situasi di lapangan. Banyak pemberitaan mengatakan kekerasan terus berlangsung, khususnya menyangkut orang-orang yang sebelumnya bekerja untuk Amerika Serikat.
Dengan dimilikinya aspek full control oleh Taliban, Philips menilai kekerasan di Taliban kedepannya diperkirakan masih memiliki potensi yang tinggi.
“Rezim yang dibentuk oleh Taliban pada September representasi kelompok non-Taliban sangat sedikit. Sangat kecil. Dan kita tahu sebuah pemerintahan atau rezim yang tidak representatif adalah resep bagi konflik karena representativeness adalah prinsip paling utama agar dia bisa menjadi inklusif. Juga dalam konteks ini kabinet yang terbentuk banyak diisi oleh orang lama yang dulu aktif dalam gerakan perlawanan sehingga yang terbentuk mirip dengan rezim tahun 1990an dulu,” ungkap Philips.
Lebih lanjut Philips mengatakan, Taliban memiliki sumber daya keuangan yang sangat rendah untuk membiayai pemerintah dan negara. Adanya kendala keuangan yang dihadapi Taliban ini bisa diprediksi Philips akan menjadi penyebab terjadinya kekerasan juga pemerasan terhadap masyarakat sipil karena Taliban akan kesulitan dalam membiayai tentara sehingga akan berpengaruh pada sulitnya mengontrol komandan lokal.
Philips juga menyampaikan bahwa untuk mencegah terjadinya peningkatan extremism violence oleh Taliban serta terciptanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka perlu adanya pengadopsian sejumlah prinsip oleh sejumlah negara dalam berunding dengan Taliban, salah satunya adalah diplomatic engagement. Menurut Philips dengan mengisolasi Taliban secara ekonomi dan politik justru akan memperburuk krisis kemanusiaan dan mendorong mereka untuk melakukan kekerasan karena merasa tidak memiliki teman.
Penulis: Surnawati