Jakarta, PPIM – Situasi penuh ketidakpastian merupakan elemen kejut yang selalu mengikuti bencana. Di tengah situasi tersebut, agama menjadi kekuatan sosial yang menawarkan masyarakat kepasrahan sekaligus ketenangan. Hal ini dijelaskan oleh Sulfikar Amir, Associate Professor of Sociology NTU Singapore, dalam rilis hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui Convey Indonesia dengan tema “Anak Muda dan Covid-19: Berbineka Kita Teguh, Ber-Hoax Kita Runtuh (5/1).
Sulfikar menjelaskan dua fungsi agama ketika bencana terjadi. Pertama, agama memiliki fungsi teologis. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama memberikan bimbingan kepada para pengikutnya untuk mempasrahkan diri kepada Tuhan di kala bencana menimpa mereka. Hal ini, lanjutnya, membuat individu-individu tidak kehilangan arah ketika sedang terdampak kehilangan yang sangat besar.
“Dalam situasi itu, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali pasrah terhadap Tuhan, dan kepasrahan ini kemudian menjadi mekanisme bertahan terhadap rasa sakit, terhadap kematian, dan terhadpa kehilangan yang dihadapi ketika bencana terjadi,” tukas Sulfikar.
Sementara itu, kedua, agama juga punya fungsi sosial di tengah bencana. Sulfikar menerangkan bahwa agama menjadi modal sosial dalam membentuk ketahanan sosial di tengah para penganutnya dalam menghadapi bencana. Modal ini kemudian bisa memobilisasi masyarakat untuk bergotong-royong antar manusia. Baik itu saling memberi bantuan, makanan, pakaian, informasi, dan bahkan uang.
“Di sini, agama itu menjadi hal yang sangat positif terhadap kemampuan manusia, atau komunitas, untuk bertahan dari bencana dalam upaya mitigasi, relokasi, rehabilitasi, dan sebagainya,” kata Sulfikar yang juga merupakan pakar sosiologi bencana.
Penulis: Endi Aulia Garadian