Jakarta, PPIM – Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI, Dr. H. Waryono Abdul Ghofur, M.Ag., melaporkan dana bantuan yang diberikan kepada Pesantren serta banyaknya para kiai dan bu nyai selama pandemi COVID-19 meninggal. Ditjen PD Pontren menyampaikan hal tersebut menanggapi hasil temuan survei di 15 pesantren di wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui CONVEY Indonesia dan dirilis pada Launching dengan tema “Pesantren dan Pandemi; Bertahan di Tengah Kerentanan,” Rabu (19/1).
Direktur PD Pontren Waryono Abdul Ghofur ingin berbicara dari sudut pandang pemerintah khususnya dalam bidang Pondok Pesantren. Hasil temuan survei menunjukkan penelitian yang dilakukan di 15 Pesantren di wilayah Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta masih relatif kecil. Jumlah Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke sebanyak 28.000 lebih. Saat terjadinya pandemi COVID-19 Pondok Pesantren mengalami berbagai persoalan dan hambatan. Secara tiba-tiba Pesantren menerapkan regulasi ketat baik protokol kesehatan, jaga jarak, kemudian menutup mobilitas keluar masuknya seseorang ke dalam wilayah Pesantren, bahkan Pesantren sempat kebingungan untuk memulangkan santri ke rumah atau tetap tinggal di Pesantren.
Diantaranya belum meratanya bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini bisa dilihat pada tahun 2020 pemerintah telah memberikan bantuan dana untuk Pesantren dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar 2,5 Triliyun, akan tetapi dana tersebut saat dibagikan baru 70% yang tersalurkan dengan jumlah Pesantren hampir 28.000 lebih tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dalam penyalurannya Ditjen PD Pontren membagi dengan skala Pesantren besar mendapat Rp50 juta, Pesantren skala sedang mendapat Rp40 juta, dan Pesantren skala kecil mendapat Rp25 juta. Misalnya saja ada sebuah Pesantren skala besar dengan jumlah santri hampir 35.000 hanya mendapat bantuan sebesar Rp 50 juta, tentu ini sangat kurang. Apalagi pada tahun 2021 tidak ada lagi bantuan yang masif seperti tahun 2020.
Menurut Dit PD Pontren pada tahun 2020 dilaporkan hanya 70 Pesantren yang mengaku terkena COVID-19 dan kurang lebih 4.400 santri yang terpapar COVID-19. Pada saat itu Pesantren di wilayah Jawa Barat menempati urutan pertama, dilanjutkan Pesantren di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan DKI Jakarta dan Banten relatif sedikit santri terpapar COVID-19, bisa jadi karena faktor infrastruktur dan kuota santri yang ada di dua daerah tersebut. Jadi bisa dikatakan seorang santri dapat terpapar COVID-19 tidak dilihat darimana dia berasal dan di Pesantren mana dia mukim.
Waryono bercerita sedikit tentang pengalamannya saat baru saja dilantik sebagai Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI. Setiap Pesantren memiliki karakteristiknya masing-masing, dulu istilah Pesantren terbagi menjadi tiga; Pesantren Tradisionalis, Pesantren Modern, dan Pesantren Kombinasi. Tentu tidak asing lagi dengan sebutan Pesantren tersebut. Pengalamannya diceritakan bahwa saat virus COVID-19 masuk ke Indonesia. Saat berkunjung ke wilayah Jawa Timur di Pesantren Modern Denayar Jombang. Ia menyaksikan saat itu untuk memulangkan santri biaya yang dikeluarkan pimpinan Pesantren hampir Rp 500 juta lebih untuk menyewa bus.
Menurutnya, dalam penanggulangan arus COVIDd-19 di Pesantren pemerintah sudah membentuk SKB 4 menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri untuk saling berkerjasama dengan membentuk gugus tugas. Pada masa itu, diketahui pemahaman santri terkait COVID-19 masih minim. Disisi lain, data yang ditemukan oleh Kemenkes 95% Pesantren telah membentuk Satgas COVID-19 untuk mencegah penularan virus COVID-19. Tingkat ketaatan inilah yang perlu di apresiasi oleh semua elemen masyarakat.
Selanjutnya, penelitian PPIM saat ini hanya merujuk pada SMA, SMK, dan MA. Jika dilihat di lapangan, ada Madrasah Aliyah (MA) yang tidak berada di zona Pesantren. Hal semacam ini tentunya meniadakan kegiatan pembelajaran ala Pesantren, kecuali sekolah dan Pesantren berada di satu zona. Dalam UU Pesantren dimana didalam Pesantren terdapat satuan pendidikan khas ala Pesantren yang disebut satuan Pendidikan Diniyah Formal, Satuan Pendidikan Muadalah, dan Ma’had Aly.
Waryono menginformasikan saat terjadi COVID-19 varian Delta tidak ditemukan santri yang meninggal akibat COVID-19. Namun, pasca COVID-19 varian Delta 750 kiai dan bu nyai meninggal. Berita ini membuat sedih bagi seluruh masyarakat Pesantren, karena untuk menjadi seorang kiai atau bu nyai tidaklah mudah. Untuk itu, dalam penelitian ini dari sisi keagamaan bisa diangkat melalui Ma’had Aly. Ada 70 Ma’had Aly yang sudah melaksanakan kegiatan pembelajaran sehingga dapat menjadi rujukan otoritatif keagamaan dalam pandemi COVID-19.
Usia anak SMA, SMK, dan MA di Pesantren rata-rata dibawah 20tahun. Biasanya mereka akan taat kepada kiai dan bu nyai, termasuk dalam vaksinansi. Misalnya kiai nya menyuruh vaksin, santri akan sami’na untuk di vaksin. Namun, belakangan ini Pesantren mengalami hambatan terkait vaksin dengan adanya ijin dari orang tua. Ketika anak-anak santri menginginkan vaksin agar terhindar dari COVID-19, tetapi orang tuanya melarang untuk di vaksin dengan alasan isu-isu yang berkembang di media online dapat menyebabkan dampak buruk bagi anaknya. Isu-isu tidak bertanggung jawab inilah yang menyebabkan santri tidak boleh di vaksin. Sedangkan kiai mempunyai tanggung jawab terhadap santrinya jika mengalami sakit.
Terakhir, saat terjadi COVID-19 para kiai dan bu nyai selalu bergotong royong untuk melindungi santrinya agar tetap sehat. Waryono telah menyampaikan kepada Kemenkes bahwa para kiai dan bu nyai selalu mentaati SKB 4 menteri karena mereka telah melaksanakan Maqashid Syari’ah salah satu isinya ada hifdz an-nafs. Tatkala masyarakat santri tidak taat prokes, para kiai dan bu nyai tetap bertanggung jawab secara inheren.
Penulis: Alvin Noor Sahab