Jakarta, PPIM – Para perempuan banyak sekali terkena brainwash mengingat mereka lebih besar emosi dibanding dengan logikanya. “Banyak perempuan yang balas dendam karena suami atau keluarganya dibunuh di depan mata mereka karena aksi terorisme dan berhasil terkena brainwash oleh aktivis ektremis”. Demikian ungkap Dete Aliah, Peneliti Terorisme SeRVE Indonesia pada Webinar Moderasi Beragama Seri 25 yang diselenggarakan oleh PPIM UIN Jakarta melalui program CONVEY Indonesia, Jumat (15/10).
Dete menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang memotivasi para perempuan mau berbuat aksi ektremisme, di antaranya yaitu terkena brainwash dengan narasi yang bermacam-macam seperti pemerintah thogut sehingga pemerintah perlu dilawan, kedua; mendukung berdirinya khilafah dengan asumsi khilafah adalah obat dari segala problem, ketiga; janji syahid yaitu surga dan syafaatnya dengan bom bunuh diri, keempat; solidaritas islam, dan kelima yaitu hidup di negara yang berhukum islam.
Selain faktor tersebut, Dete juga mengungkapkan bahwa faktor balas dendam juga dipengaruhi. “Di Indonesia terdapat kelompok Black Widow yang hampir melakukan aksi ektremisme di hari valentine pada tahun 2016. Untungnya pemerintah berhasil mendeteksi rencana aksi tersebut dan sudah digagalkan. Kasus lain yaitu di Poso, sekumpulan perempuan yang suaminya meninggal pada saat penangkapan yang ingin balas dendam kepada negara karena merasa didzalimi.”
“Kemudian adanya pertobatan yaitu orang yang ingin bertobat dari pergaulan bebas, minum-minuman dan sebagainya yang digiring oleh kelompok ektremisme. Selanjutnya adalah faktor kekecewaan dengan beberapa kasus seperti KDRT, putus cinta, belum menikah, dan lainnya yang kemudian direkrut oleh kelompok radikal serta bukti kesetiaan pada suami, dengan permintaan suami yang meminta istrinya untuk bergabung dengan asumsi jihad bersama,” Dete menjelaskan.
Motivasi yang warna-warni menentukan mereka eksistensi atau eksploitasi. Lantas kenapa perempuan bisa terlibat? Mirisnya perekrutan kelompok ekstremisme dari lingkungan terdekat seperti orang tua, teman, kekasih, dan lainnya sangat berpengaruh. Perubahan pola pikir akibat brainwash yang menyatakan untuk mengajak perempuan untuk berjihad dan pola pikir bahwa perempuan memiliki kesetaraan gender dengan andil, kewajiban, dan hak yang sama untuk berjihad membuat para perempuan terlena.
Saat ini yang bisa dilakukan untuk mencegah dengan memulai countering, karena kelompok radikalisme sudah menggunakan strategi kekinian bagi anak muda yang sesuai passion, dilakukan sosialisasi dengan metode pendekatan dua arah dengan metode yang asyik sesuai dengan tingkatan umur mereka.
Oleh karena itu, Indonesia harus buka mata dan buka telinga karena banyak perempuan yang sudah terpapar oleh aksi ektremisme ini. Diharapkan untuk semua lapisan masyarakat bisa gotong-royong untuk melakukan pencegahan kelompok radikal.
Webinar Moderasi Beragama ini dilaksanakan pada Jumat melalui kanal Youtube “PPIM UIN Jakarta” dan “Convey Indonesia”. Dalam kesempatan kali ini, Dete Aliah didampingi oleh Team Leader Convey Indonesia, Jamhari Makruf, sebagai moderator.
Penulis:Rizki Ciptaningsih