PPIM UINJKT – “Seharusnya komponen bangsa Indonesia mulai berpikir tentang Indonesia yang menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, dan komperhensif.” Pemikir Kebinekaan sekaligus alumni Harvard University, Sukidi, Ph.D, memberi dorongan keras terhadap bangsa Indonesia agar berbenah.
Menurut Sukidi, negara Indonesia sedang dihadapkan pada dua permasalahan penting yang jika tak segera dibenahi akan berdampak signifikan yakni: intoleransi dan persekusi. Paparan itu disampaikan Sudika pada webinar “Moderasi Beragama seri ke-27” yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program CONVEY Indonesia pada Jumat, (05/11). Webinar ini mengangkat tajuk “Kemerdekaan Keyakinan yang Setara” dan dimoderatori Prof. Jamhari Makruf, Team Leader CONVEY Indonesia.
Sukidi mendefinisikan persekusi sebagai intervensi dari pihak eksternal terhadap kedaulatan dan keyakinan dari warga negara. Indonesia juga sedang menghadapi tantangan intoleransi dari oknum umat beragama yang tidak memiliki pengetahuan memadai tentang cara sebuah masyarakat modern beragama.
Sukidi mengutip dari UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Menurut Sukidi, amanat konstitusi tak hanya sekadar omong kosong belaka, tetapi harus dimaknai secara komperhensif. Konstitusi telah memberi jaminan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk menjalankan perintah agamanya masing-masing. Tidak boleh ada pihak yang merasa menjadi minoritas, maupun mayoritas. Sebab tidak pernah ada nomenklatur yang mengatur tentang perlindungan terhadap mayoritas ataupun minoritas. Semua warga negara memiliki kemerdekaan dalam memeluk agamanya. Kemerdekaan keyakinan menjadi hak natural yang melekat dalam diri manusia, sebagai pemberian dari Tuhan YME sesaat setelah manusia itu lahir.
Sukidi menyayangkan para pemimpin di Indonesia banyak yang hanya bersikap sebagai politisi, bukan negarawan. Para pemimpin di Indonesia, baik yang berada di pemerintahan maupun pemimpin agama, seharusnya bersikap universal dan tidak memikirkan golongannya sendiri. Sukidi menyebutnya sebagai “krisis kompetensi” karena banyak pemimpin yang tak memahami esensi dari kemerdekaan keyakinan.
Sukidi pun menyarankan kepada seluruh komponen di Indonesia untuk berpikir secara adil, setara, dan komperhensif dalam menghargai sesama manusia yang beragama.
Penulis: Pang Muhammad Jannisyarief