Jakarta, PPIM UIN – Kesetaraan beragama di Indonesia dapat dikatakan masih jauh dari kata ‘merdeka’. Intoleransi dalam beragama dan tindakan persekusi terhadap keyakinan merupakan salah satu tragedi besar di negara plural Indonesia. Hal tersebut disampaikan Pemikir Kebinekaan, Sukidi, Ph.D., pada webinar “Moderasi Beragama seri ke-27” yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program CONVEY Indonesia pada Jumat, (05/11). Webinar ini mengangkat tajuk “Kemerdekaan Keyakinan yang Setara” dan dimoderatori Prof. Jamhari Makruf, Team Leader CONVEY Indonesia.
Dalam paparannya, Sukidi berargumen bahwa kemerdekaan dalam beragama seharusnya sudah menjadi hak absolut bagi setiap warga negara. Hal itu karena merupakan amanah konstitusi juga titah Tuhan sekaligus.
Mengenai adanya pencampuran agama dengan politik di Indonesia, menurut Sukidi, memang perlu diakui bahwa pemimpin negeri ini tidak tampil sebagai negarawan, melainkan politisi yang medioker yang dengan mudahnya menggunakan agama untuk mobilisasi pemilih.
“Mereka tidak begitu menjiwai spirit dari para founding fathers, modern nation state yang diletakkan oleh para pendiri bangsa sehingga kita seringkali menemui para politisi yang betul-betul tidak mereflesikan pengetahuan dan kesadaran sejarah yang cukup sehingga mereka seperti tercerabut dengan akar mengapa Indonesia itu berdiri,” ujar Sukidi.
Sukidi juga mengungkapkan bagaimana krisis otoritas yang menyangkut teladan para pejabat publik dalam bidang agama. Menurutnya, kini banyak ditemukan para pemimpin agama justru hidup dengan satu kemewahan di tengah umatnya yang justru hidup dalam satu penderitaan. Begitu pula, pemimpin agama yang mengerti agama justru menyembunyikan kebenaran dengan tujuan mewartakan agama seakan-akan benar. Pemimpin agama yang seharusnya berpikir inklusi dan universal justru cenderung berpikir eksklusif dan berpikir untuk golongannya sendiri.
“Ini bagian dari krisis otoritas, krisis keteladan, dan pada tingkat negara krisis keteladanan ini tercermin pada pemimpin kita yang tidak menjiwai tentang Yurisdiksi Civil Goverment.” Sukidi kemudian mengungkapkan, “Pemimpin agama, otoritas sipil pembangunan pemerintah seringkali ikut terlibat dalam menyesatkan keagamaan keyakinan warganya”.
Untuk menjaga keragaman perbedaan dan terhindar dari adanya fenomena prasangka ujaran kebencian, Sukidi mengungkap tiga hal yang bisa dilakukan. Pertama, semangat collective memory pada Sumpah Pemuda, kedua menjaga motto kebinekaan dengan mengikat persatuan, dan ketiga menjadikan ideologi bangsa yakni Pancasila sebagai kekuatan pemersatu bangsa.
Penulis: Surnawati