PPIM.UINJKT.AC.ID – Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah merilis hasil Survei Nasional terkait keberagamaan guru beragama Islam pada Selasa, 16 Oktober 2018. Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Le Meridien, Jakarta ini mengambil tema “Pelita Yang Meredup: Potret Keberagamaan Guru Indonesia”.
Tema tersebut menurut Fuad Jabali, Project Manager CONVEY Indonesia, sangat tepat menggambarkan kondisi keberagamaan guru saat ini. “Riset ini lahir dari kesadaran bahwa ruang-ruang dalam dunia pendidikan yang harusnya terbuka dan dialogis kini semakin tertutup karena pemahaman-pemahaman yang sempit dan intoleran yang menegasikan keragaman. Guru yang harusnya menjadi pelita dalam mengajarkan generasi bangsa tentang toleransi dan kebinekaan, kini terpapar intoleransi dan radikalisme”, tambah Fuad.
Rilis hasil survei ini dipresentasikan oleh Saiful Umam, Ph.D, Direktur Eksekutif PPIM Jakarta dan Dr. Yunita Faela Nisa selaku kordinator survei. Hadir sebagai pembahas Henny Supolo Sitepu, M.A (Ketua Yayasan Cahaya Guru), Heru Purnomo, S.Pd. (Sekjen FSGI – Federasi Serikat Guru Indonesia), Bahrul Hayat, Ph.D (Ahli Pendidikan), dan Prof. Dr. Jamhari Makruf (Advisory Board PPIM UIN Jakarta).
Survei ini dilakukan pada 6 Agustus sampai 6 September 2018 dengan unit analisis guru Muslim dari tingkat TK/RA sampai SMA/MA semua mata pelajaran. Secara metodologis, Yunita menjelaskan “variable utama yang hendak digali adalah level intoleransi dan radikalisme guru, serta faktor-faktor dominan yang mempengaruhinya. Sample guru yang diambil sebanyak 2237 dengan margin of error 2.07% dan tingkat kepercayaan 95%”.
Dalam pemaparan hasil temuan survei, Saiful Umam menyatakan bahwa guru di Indonesia mulai dari tingkat TK/RA hingga SMA/MA memiliki opini intoleran dan radikal yang tinggi. “Secara umum, persentasenya sudah di atas 50% guru yang memiliki opini yang intoleran. Sebanyak 46.09% memiliki opini radikal. Sedangkan jika dilihat dari sisi intensi-aksi, walaupun lebih kecil nilainya dari pada opini, namun tetap hasilnya mengkhawatirkan. Sebanyak 37.77% guru intoleran dan 41.26% yang radikal,” ujarnya.
Saiful memaparkan, ada 3 faktor dominan yang mempengaruhi tingkat opini dan intensi-aksi intoleransi dan radikalisme guru. Pertama, pandangan Islamis. Sebanyak 40.36% guru setuju bahwa seluruh Ilmu pengetahuan sudah ada dalam al-Quran, sehingga tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu yang bersumber dari Barat.
Kedua faktor demografi, yaitu jenis kelamin, sekolah madrasah vs negeri, status kepegawaian, penghasilan, dan usia. Hasilnya, guru perempuan memiliki opini yang lebih intoleran dan radikal. Lebih jauh saiful menambahkan “guru madrasah lebih intoleran daripada guru sekolah. Ini dipengaruhi karena di madrasah lingkungannya homogeny. Guru hanya mengajar siswa muslim dan berinteraksi dengan guru muslim saja”.
Masih terkait demografi, temuan survei juga memperlihatkan bahwa guru-guru tingkat TK/RA lebih intoleran terhadap pemeluk agama lain dibanding guru yang mengajar di level yang lebih tinggi. Selain itu, guru yang berpenghasilan lebih rendah dan mereka yang mengajar di sekolah swasta juga memiliki kecenderungan intoleransi yang sama.
Ketiga, kedekatan dengan ormas dan sumber pengetahuan keislaman. Data menunjukkan bahwa sebanyak 45.22% guru merasa dekat dengan NU dan Muhammadiah sebanyak 19.19%. Saiful menambahkan “guru-guru yang dekat dengan NU dan Muhammadiah cenderung lebih memiliki opini dan intensi-aksi yang toleran dari pada mereka yang merasa dekat dengan ormas Islam yang selama ini dinilai radikal”.
Menyikapi temuan survei ini, menurut Saiful “pemerintah perlu memperbanyak program-program yang mempertemukan guru-guru dengan kelompok lain yang berbeda supaya pengalaman guru tidak homogen. Penting untuk melakukan peningkatan kesejahteraan guru dengan membuat program meningkatkan pendapatan guru. Lebih lanjut, lembaga-lembaga yang memproduksi guru perlu melakukan pemberdayaan kepada guru mata pelajaran non-UN dan guru swasta tanpa ada pembedaan dengan guru mata pelajaran yang diujikan dalam UIN dan guru negeri”.
Menanggapi hasil penelitian, Bahrul Hayat melihat bahwa sikap keberagamaan guru sangat dipengaruhi oleh kedekatan identitas (identity closeness). Menurutnya, “seberapa guru terekspos dalam persentuhan lintas agama, ini bisa menjadi faktor determinan terhadap reasoning guru. Kita sekarang dipaparkan dalam narasi baru dari media sosial yang sangat masif. Informasi yang melimpah terkait hoax menjadi kekhawatiran kita semua dalam membentuk identity attachment guru”.
Terakhir, Jamhari Makruf menyatakan bahwa pelajaran agama dan lingkungan sekolah seharusnya membuat siswa menjadi inklusif. Menurutnya sangat berbahaya jika guru mengajarkan sesuatu yang ekstrem dan intoleran. “Kita harus mencermati sekolah karena seakan menjadi no man’s land (wilayah tak bertuan), karena pengawasan terhadap sekolah lemah. Misalnya, ada penelitian yang menunjukkan bahwa ekstrakurikuler Rohis tidak terkontrol kegiatannya. Radikalisme dan intoleransi bisa jadi karena no man’s land ini” ujar professor di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta ini. [RGA]
Scx23NCS2XwC5QxUX7uCgO1rLvz4I5t4NoOEtrj3