PPIM.UINJKT.AC.ID – “Di Buleleng, warga muslim boleh menamakan anaknya dengan nama-nama Bali,” papar Ida Ayu Prasasti menceritakan bagaimana suasana kehidupan umat Islam dan Hindu di Desa Pegayaman, Bali. Sasti, sapaan akrabnya, menyampaikan hal itu dalam Webinar Series #ModerasiBeragama bertema “Milenial Lintas Iman Bicara Moderasi Beragama” yang diselenggarakan oleh PPIM UIN Jakarta melalui program CONVEY Indonesia, Jumat (24/7).
Sasti yang juga mahasiswa magister School Goverment and Public Policy juga berbagi pengalaman tentang bagaimana hidup di lingkungan yang beragam. Ia memiliki tetangga Muslim dan Kristen juga memiliki sahabat Khonghucu, bahkan ia disekolahkan di sekolah Kristen.
Koordinator CONVEY: Toleransi Harus Dialami, Tak Hanya Diajarkan
Menyitir hasil survey PPIM 2017, Sasti menyayangkan banyaknya generasi milenial yang mendapatkan pemahaman keagamaan dari internet. Ia menegaskan pentingnya komunikasi, edukasi, partisipasi dan kolaborasi intra dan antar kelompok agama. Sasti menyebutnya dengan istilah “KEPO Positif” sebagai poin-poin bagaimana mengajarkan pelajaran toleransi untuk milenial.
Harmonisasi kepada sesama manusia ini jangan sampai terlupakan, jika kita cenderung pada salah satu poin diantara tiga ini hidup tidak akan tenang dan Bahagia. “Tri Hita Karana, kita sangat percaya harmonisasi kehidupan itu penting sekali untuk mencapai kebahagiaan, ada harmonisasi kepada tuhan, harmonisasi kepada sesama manusia dan harmonisasi kepada alam” ungkap Sasti.
Selain Sasti, webinar yang dipimpin Team Leader CONVEY Indonesia Jamhari Makruf ini menghadirkan Milenial Lintas Iman lainnya seperti Biarawati Katolik Fernanda Ambar Pratiwi, Meilan Rahayu Putri sebagai Ketua Pemuda Agama Khonghucu Indonesia Bogor, Pendeta Kristen Protestan Yerry Pattinasarany, Anes Dwi Prasetya dari HIKMAHBUDI, dan Fikri Fahrul Faiz dari CONVEY Indonesia.
Penulis: Meitha Dzuharia
Editor: M. Nida Fadlan