Secara umum, sikap dan perilaku kaum muda Muslim saat ini bisa dikategorikan moderat. Namun di saat yang sama, tren konservatisme dengan ciri skriptural plus komunal juga menguat.
Kecenderungan terakhir, melahirkan tantangan tersendiri bagi munculnya sikap dan perilaku intoleran, sekaligus menguatnya dukungan terhadap radikalisme dan ekstremisme di kalangan muda Muslim zaman now.
Hal ini terungkap pada sosialisasi hasil penelitian ‘Arah dan Corak Keberagamaan Kaum Muda Muslim: Konservatisme, Hibridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme,’ Jumat (23/2) lalu di Jakarta Pusat.
Penelitian ini dilakukan oleh Tim Manajemen Program Penelitian Research on Muslim Youths Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Convey Indonesia dan United Nation Development Program (UNDP), dan dilakukan di 18 kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Menurut Direktur CSRC, Irfan Abubakar, penelitian ini untuk mengetahui secara mendalam struktur dasar sikap dan perilaku kaum muda muslim generasi milenial (15-24 tahun) tentang kekerasan dan ekstremisme.
Di antara temuan menarik, ujarnya, terkait masalah HAM, respon mereka masih relatif kuat dengan unsur konservatisme, komunalisme dan skripturalisme. Terhadap tema ini, ada tiga kecenderungan pandangan.
Pertama, pandangan yang setuju dengan kebebasan individu dan HAM, namun kebebasan itu harus dibatasi nilai-nilai agama dan budaya setempat. Aspek komunal masih cukup kuat dalam matra pertama ini. Pandangan ini didukung kaum muda Muslim yang sebagian besar aktif di ROHIS, LDK, OSIS, BEM dan dalam derajat tertentu OKP kepemudaan seperti IMM dan KAMMI.
Kedua, pandangan yang menolak sama sekali kebebasan individu dan HAM. Mereka berpendapat, Hak Asasi Manusia berasal dari Barat, bukan dari Islam. Justru HAM diperkenalkan kepada kaum Muslim dalam rangka merusak umat Islam dengan menciptakan kebebasan individu yang tanpa batas.
“Umumnya pandangan ini didukung kaum muda Muslim yang aktif dalam kelompok-kelompok organisasi Islam yang memang mencita-citakan kekhilafahan, seperti HTI, dan yang sejenisnya. Bagi kelompok ini, kebebasan individu dan Hak Asasi Manusia harus dievaluasi dengan parameter Islam,”
kata Irfan.
Ketiga, pandangan yang percaya bahwa antara Islam dan HAM berjalan seiring. Mereka yang aktif di PMII, HMI, IPPNU, KNPI, Pemuda Pancasila, dan organisasi Islam progresif, mendukung pandangan bahwa kebebasan individu dan HAM tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Namun dari ketiga kecenderungan pandangan di atas, ungkap Irfan, hampir semuanya tidak setuju dengan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan pembubaran HTI.
“Kaum muda Muslim di hampir semua kalangan, mulai ROHIS hingga berhaluan nasionalis, tidak setuju dengan pembubaran HTI, kecuali mereka yang sebagian besar berlatarbelakang NU, baik di kalangan aktivis PMII maupun IPPNU. Bagi kalangan aktivis muda NU, pembubaran HTI sudah tepat karena HTI sendiri mengkampanyekan suatu ideologi yang bertentangan dengan Pancasila,” pungkasnya.
Di antara kesimpulan dan rekomendasi penelitian ini, jelas Koordinator Penelitian Chaider S Bamualim, secara umum sikap dan perilaku kaum muda Muslim milenial terhadap radikalisme tidak menunjukkan adanya kecenderungan yang ajeg.
Namun, di saat yang sama, mereka umumnya menunjukkan sikap dan perilaku keberagamaan konservatif, dengan coraknya komunal, skriptural, dan puritan. “Meski demikian, mereka terbuka pada nilai-nilai moderatisme, dan nir-kekerasan, dengan penghargaan yang cukup baik pada kebebasan individu dan HAM, meski dibatasi norma-norma agama dan budaya,” jelasnya.