Agama Rentan Jadi Komoditas Politik

Politik Identitas, Peneliti PPIM: Tergantung Cara Bersosial
Desember 14, 2020
Andini: 5 dari 7 Orang Tua Sering Melihat Ujaran Kebencian
Januari 12, 2021

Jakarta, PPIM – Identitas agama kerap kali mejadi pertimbangan seseorang untuk menentukan pilihan pada saat pelaksanaan Pemilu baik di tingkat nasional maupun daerah. Pasalnya, politik identitas memberikan manuver yang cukup leluasa dalam tata kehidupan sosial dan merupakan sebuah konsep yang licin dan memiliki kecenderungan pada dua sisi, negatif dan positif.

Politik identitas berimplikasi positif ketika menjadi gerakan pembebasan bagi kelompok minoritas yang terpinggirkan seperti gerakan black lives matter di Amerika Serikat yang menyuarakan hak kelompok kulit hitam. Kini, politik identitas acap kali menjadi komoditas kelompok mayoritas yang menggunakan identitas keagamaan untuk kepentingan tertentu seperti yang terjadi dalam konteks Indonesia dewasa ini.

“Dalam konteks Indonesia, identitas agama acap kali digunakan oleh kelompok mayoritas agama. Hal ini memiliki implikasi negatif dari politik identitas” ujar Sirojuddin Arif, peneliti PPIM UIN Jakarta, dalam Webinar Series #ModerasiBeragama yang ke-16, dengan tema “Politik Identitas dan Moderasi Beragama” yang diselenggarakan oleh PPIM UIN Jakarta melalui program CONVEY Indonesia, Jumat (11/12).

Sirojuddin menelisik bahwa ada kecenderungan politik identitas tumbuh subur di Indonesia karena ada pertimbangan agama dalam memilih seseorang.

“Dalam konteks Indonesia, berdasarkan data Indonesia Family Live Survey (IFLS), identitas agama menjadi pertimbangan utama ketika dalam memilih bupati atau walikota. Hal itu tampak menguat pada tahun 2007 dan 2014, ” imbuhnya.

Sementara itu Burhanuddin Muhtadi, Direktur Ekskutif Indikator Politik Indonesia, melihat bahwa politik identitas berimplikasi negatif pada pola keagamaan masyarakat. “Momentum Pilkada Jakarta saat itu memiliki efek secara nasional yang membuat tren intoleransi meningkat,” ujarnya.

Menanggapi data tersebut, Burhanuddin mempertegas bahwa politik identitas kerap terjadi pada momentum politik. “Agama dipercaya dapat memengaruhi perilaku pemilih dan berkorelasi signifikan antara afiliasi keagamaan dengan dukungan yang didapat,” tandasnya.

Mengapa Agama?

Alasan mengapa agama menjadi pertimbangan utama dalam politik dapat dilihat dari level hubungan sosial di masyarakat. Hubungan sosial memiliki kaitan erat dengan politik identitas karena memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi bridging yang dibentuk dengan pergaulan yang baik dengan kelompok lain. Kedua, dimensi bonding yang bertumpu pada hubungan  sosial dengan kelompok sejenis dalam agama dan etnis.

Kedua dimensi tersebut memiliki dampak yang jauh berbeda. Bonding berdampak pada solidaritas pada kelompok yang sejenis, namun pada kelompok luar cenderung negatif. Sementara bridging memiliki sisi positif dengan kelompok luar yang berbeda.

Menurut Sirojuddin, hal tersebut sangat berpengaruh pada cara berpikir seseorang dalam mempertimbangkan untuk memilih kepala daerah dengan alasan agama. “Terkait dengan kecenderungan memilih kandidat dengan menggunakan sentimen agama, maka kita bisa berhipotesis bahwa orang yang lingkaran sosial yang sejenis menjadi pertimbangan utama. Sedangkan orang yang memiliki sosial bridging yang lebih besar maka  kemungkinan kecil memilih kandidat berdasarkan agama,” tandasnya.

Namun, menurut Burhanuddin, fakta menarik di lapangan justru menunjukkan bahwa politik identitas kerap ditemukan di wilayah yang memiliki keragaman. “Politik identitas justru marak di kabupaten dan kota yang lebih heterogen dibandingkan dengan yang homogen,” terang dosen FISIP UIN Jakarta.

Kepentingan Elit

Politik identitas juga dapat diuji pada level anggota DPR RI. Penelitian PPIM UIN Jakarta pada 2019 menunjukkan bahwa partai politik memiliki persepsi bahwa agama menjadi pertimbangan utama dalam memilih pemimpin baik presiden maupun kepala daerah.

“Persepsi partai politik terkait pertimbangan agama untuk memilih presiden dan kepala daerah tampak beragam. PDI Perjuangan merupakan representasi dari partai politik yang tidak setuju, sementara PPP adalah representasi dari partai yang setuju, ” jelas Sirojuddin dalam pemaparannya.

Sirojuddin mempertegas bahwa faktor yang mendorong hal tersebut adalah orang yang memiliki hubungan baik dengan orang yang berbeda agama dapat mengurangi politik identitas. Selain itu identitas kepartaian dapat memperkuat politik identitas. “Partai politik yang memiliki kecenderungan menggunakan agama untuk kepentingan tampak pada PAN, PKS dan PPP. Sementara Partai Golkar berada di tengah yang cenderung tidak menggunakan identitas agama untuk kepentingan politik,” paparnya.

Secara praksis, politik identitas kerap digunakan elit politik untuk membakar sentimen massa. Burhanuddin mengkonfirmasi bahwa, “politik identitas bisa bekerja secara maksimal itu karena adanya mobilisasi,” tuturnya.

Sementara Team Leader Convey Indonesia, Jamhari Makruf, selaku moderator menekankan bahwa identitas melekat pada masing-masing individu yang sewaktu-waktu akan muncul. Meski demikian yang terpenting adalah kita harus menjadi warga negara yang cerdas dengan kesadaran bahwa Indonesia merupakan yang majemuk yang perlu kita rawat bersama.

Penulis: Abdallah
Editor: M. Nida Fadlan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 + 14 =

Indonesia