NU.OR.ID – Pusat Pengkaijan Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta mengadakan sebuah penelitian yang berfokus pada Pandangan dan Sikap Keberagamaan Guru Sekolah/Madrasah di Indonesia. Yang menjadi target populasi survei adalah guru Muslim di sekolah atau madrasah pada tingkat TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA.
Total sampel guru yang disurvei mencapai 2.237 orang dari 34 provinsi di Indonesia. Sampel guru yang berjenis kelamin perempuan adalah 1.335 orang (59,79 persen), sementara guru laki-laki 898 orang (40,21 persen). Sampel guru tersebut juga diklasifikasi ke dalam beberapa kategori; guru sekolah negeri 1172 orang (52,39 persen), swasta 1065 orang (47,61 persen), guru PNS 925 orang (41,35 persen), tetap non-PNS 270 orang (12,08 persen), tetap yayasan 562 orang (25,13), dan honorer 479 orang (21,42).
Survei dilakukan dalam rentang waktu antara 6 Agustus hingga 6 September 2018. Untuk mengukur tingkat intoleransi dan radikalisme, survei ini menggunakan dua alat ukur. Pertama, Implicit Association Test (IAT). Alat ukur ini digunakan untuk melihat potensi intoleransi dan radikalisme guru secara implisit. Kedua,kuesioner. Ini untuk menilai intoleransi dan radikalisme serta faktor-faktor yang mempengaruhinya secara eksplisit.
Temuan
Hasil survei menunjukkan sebanyak 63,07 persen guru di Indonesia memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain (IAT). Sementara, dari data kuesioner ada 56,90 persen guru yang beropini intoleran.
Dalam skala opini ini, sebanyak 56 persen guru menyatakan tidak menyetujui non-Muslim mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar rumahnya. Sementara, sebanyak 21 persen guru tidak setuju kalau tetangganya yang non-Muslim mengadakan acara keagamaan.
Survei ini juga memotret intensi aksi intoleransi guru di Indonesia, bukan hanya opini. Hasilnya, sebanyak 37,77 persen memiliki intensi aksi intoleran terhadap pemeluk agama lain. Intensi aksi intoleran misalnya, jika ada kesempatan, sebanyak 34 persen guru berkeinginan menandatangani petisi untuk menolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar rumahnya. Sementara, 29 persen guru berkeinginan untuk menandatangani petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama.
Sementara dalam hal opini radikal, survei menunjukkan kalau 46, 09 persen guru memiliki opini radikal terhadap non-Muslim. Sebanyak 33 persen guru menganjurkan orang lain agar ikut berperang untuk mendirikan negara Islam. Sedangkan, 29 persennya bahkan menyatakan setuju untuk ikut berjihad di Suriah, Irak, dan Filipina Selatan dalam rangka memperjuangkan berdirinya negara Islam.
Adapun intensi aksi radikal, sebanyak 41,26 persen guru berkesempatan melakukan intensi aksi radikal jika ada kesempatan. Dari hasil pertanyaan kuesioner, sebanyak 27,59 persen guru berkeinginan untuk menganjurkan orang lain agar ikut berperang menegakkan negara Islam. 13,30 persen guru berkeinginan menyerang polisi yang menangkap orang-orang yang berusaha menegakkan negara Islam.
3 faktor terkait
Ada tiga faktor yang bisa dikaitkan dengan intoleransi dan radikalisme guru di Indonesia. Pertama,islamisme. Sebuah pandangan yang pandangan yang menekankan tentang bagaimana syariat Islam harus dijadikan sebagai sumber rujukan utama dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam ranah politik.
“Faktor islamisme menjadi satu variabel yang penting terkait intoleransi dan radikalisme guru,” katanya dalam acara Peluncuran Survei PPIM 2018 di Jakarta, Selasa (16/10).
Lalu bagaimana gambaran islamisme di kalangan guru di Indonesia? Sebanyak 62,22 persen guru sepakat bahwa sistem pemerintahan terbaik adalah yang berdasarkan syariat Islam. Sebanyak 82,77 persen guru mengaku sepakat kalau Islam merupakan solusi atas semua permasalahan masyarakat.
Yang cukup mencengangkan adalah 23,42 persen guru setuju bahwa negara Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 adalah thaghut. Sementara, 75,98 persen setuju jika pemerintah memberlakukan syariat Islam bagi pemeluknya.
Kedua, aspek demografis. Jenis kelamin, sekolah swasta dan negeri, penghasilan, mata pelajaran yang diampu, jenjang pendidikan, dan usia juga terkait dengan intoleransi dan radikalisme guru. Misalnya, guru perempuan (mean=46,53) memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain lebih tinggi dari pada guru laki-laki (mean=48,05). Begitu pun dalam intensi aksi radikal: guru perempuan (mean=48,08; mean=50,08), sementara guru laki-laki (mean=55,1; mean=56,3).
Pun dalam hal penghasilan. Semakin rendah penghasilan semakin tinggi opini (F=3,390, p=0,009) dan intensi aksi radikal (F=10,481, p=0,000). Semakin tua usia guru menunjukkan semakin toleran, serta semakin rendah opini dan intensi aksi radikalnya (M=40,55; F20,037; p=0,000; R2=9 persen).
Jenjang pendidikan juga terkait dengan intoleransi dan radikalisme guru. Guru TK/RA memiliki opini intoleran (F=4,339; p=0,005) terhadap non-Muslim yang lebih tinggi dibandingkan guru SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA.
Ketiga, ormas dan sumber pengetahuan keislaman. Menurut Umam, keterlibatan guru dengan ormas Islam baik sekarang atau pun saat menjadi mahasiswa juga menjadi faktor yang terkait dengan intoleransi dan radikalisme di kalangan guru.
Para guru tersebut mengaku dekat dengan lima ormas Islam, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) 46,22 persen (mean=48,33), Muhammadiyah 19,19 persen (mean=46,46), Nahdlatul Wathan (NW) 3 persen (mean=44,03), Front Pembela Islam (FPI) 2,28 persen (mean=39,04), dan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) 1,21 persen. Meski demikian, hanya 33,65 persen guru yang mengaku sangat aktif/aktif di ormas Islam tersebut. Sementara sisanya (66,35 persen) mengaku tidak/sangat aktif.
“Semakin sedikit mean-nya, maka akan semakin tinggi intoleransinya,” jelasnya.
“Ada hubungan mereka yang aktif di ormas dengan intoleran atau tidak, kira-kira begitu. Kita tidak ingin mengatakan bahwa yang ini (ormas ini) lebih intoleran, tidak,” tambahnya.
Rekomendasi
Dari beberapa temuan yang dihasilkan dari survei tersebut, ada tiga rekomendasi yang diajukan. Pertama,memperbanyak program-program yang memberikan pengalaman guru untuk merasakan keberagamaan dan kemajemukan.
Kedua, peningkatan kesejahteraan guru dengan membuat standar pembayaran minimal guru tanpa membedakan swasta dan negeri. Ketiga, pemberdayaan lembaga yang memproduksi guru –seperti fakultas tarbiyah, perhatian lebih kepada guru mata pelajaran non-Ujian Nasional, guru honorer, dan guru swasta sehingga tidak ada perbedaan perlakuan.