Meski latar belakang pendidikan agama dapat memberi penjelasan terkait munculnya radikalisme dan ekstremisme, namun relasi antara pelaku radikalisme dan ekstremisme dan latar pendidikan agama mereka tampaknya menyisakan pertanyaan penting. Konteks apa yang membuat mereka tergerak dan mengonsolidasikan diri untuk melakukan tindakan-tindakan teror dan ‘makar’ bersama NIIS masih menjadi pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang tidak sederhana. Penelitian ini menelaah latar pendidikan agama mantan napiter (napi terorisme), returnis, dan deportan NIIS untuk menjawab sejauhmana latar belakang pendidikan tersebut turut membentuk paham radikal dan ekstremis mereka. Hal lain yang juga menjadi perhatian kami adalah faktor-faktor yang membuat mereka berhenti dari ideologi dan aktivitas lama mereka. Hal-hal di atas perlu dijawab untuk mengurai benang kusut radikalisme dan ekstremisme berbasis agama di Indonesia sebagai bahan bagi upaya membuat model (best practice) bagi pembelajaran agama baik di lingkungan pendidikan agama formal maupun informal. CONVEY Indonesia bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam Demokrasi dan Perdamaian (PusPIDeP) untuk melakukan penelitian ini melibatkan 20 orang informan melalui wawancara mendalam kepada 13 (tiga belas) orang mantan napiter, 6 (enam) orang returnis, dan 1 (satu) orang deportan yang berasal dari tiga provinsi lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan ‘life narrative’ yang menyelami sejarah kehidupan para mantan napi teroris, returnis dan deportan dengan mengeksplorasi latar belakang pendidikan,aspirasi hidup, dan pandangan mereka terhadap dunia (worldview). Penelitian ini mengambil fokus tiga provinsi di Indonesia, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat dipilih karena dianggap sebagai basis gerakan DI/TI. Sementara Jawa Tengah, khususnya Solo dalam kajian-kajian akademik diasosiasikan dengan basis gerakan Islam radikal dan ekstremis seperti jaringan Pesantren Ngruki Abu Bakar Ba’asyir dan lain-lain. Sedangkan Jawa Timur, meskipun secara umum dikenal sebagai kantong NU, pemboman Gereja di tahun 2018 dan beberapa sel teroris yang berasal dari Jawa Timur seperti Amrozi CS menunjukkan pentingnya posisi Jawa Timur sebagai basis dari jaringan terorisme.
Berbasis pada hasil survei ini, PPIM UIN Jakarta mendorong para pemangku kebijakan untuk memperhatikan beberapa hal ini. Pertama, Mempromosikan kekayaan pengalaman sosial dan interaksi sosial lintas kelompok keagamaan. Kedua, Memperbaiki iklim sosial kampus dengan meningkatkan kultur toleransi beragama di kalangan civitas akademika dan penghormatan kepada keragaman dan kelompok-kelompok minoritas. Ketiga, program atau kebijakan peningkatan toleransi beragama mahasiswa dengan memperhatikan kekhasan konteks sosial PT dan kondisi sosial-demografi mahasiswa.
Berbasis pada hasil survei ini, PPIM UIN Jakarta mendorong para pemangku kebijakan untuk memperhatikan beberapa hal ini. Pertama, Mempromosikan kekayaan pengalaman sosial dan interaksi sosial lintas kelompok keagamaan. Kedua, Memperbaiki iklim sosial kampus dengan meningkatkan kultur toleransi beragama di kalangan civitas akademika dan penghormatan kepada keragaman dan kelompok-kelompok minoritas. Ketiga, program atau kebijakan peningkatan toleransi beragama mahasiswa dengan memperhatikan kekhasan konteks sosial PT dan kondisi sosial-demografi mahasiswa.