Poso Butuh Early Warning System

Identitas dan Kesalehan Millennial
Juni 8, 2018
Awas, Anak Muda Zaman Now Lirik Radikalisme
Juni 8, 2018

Demikian disampaikan Peneliti Senior PPIM UIN Jakarta dan Convey Indonesia, Jajang Jahroni PhD dalam Workshop berjudul “Penanganan Radikalisme dan Strategi Memperkuat Peran Pemuda dalam Pembangunan Perdamaian di Poso” di Hotel Kartika Poso, Selasa (23/1).

“Early warning system perlu dibangun di Poso dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Pemerintah dan aparat tidak memiliki kapasitas cukup untuk mengawasi seluruh wilayah Poso. Dengan keterlibatan aktif masyarakat maka bisa dicegah adanya kelompok luar yang masuk, termasuk penyelundupan narkoba dan kelompok teroris,” kata Jajang.

Wakil Bupati Poso Samsuri mendukung pendapat Jajang. Dia mengatakan Poso saat ini semakin terbuka dengan akses jalan semakin banyak. Infrastruktur ini diharapkan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan menarik investor lebih banyak ke Poso. Pada saat konflik, beberapa kelompok masyarakat dari luar membawa pemahaman keagamaan baru ke Poso. Masyarakat Poso menerima mereka karena konteks konflik.

“Tetapi pasca konflik menjadi masalah karena banyak orang luar membawa pemahaman radikal. Terorisme juga terjadi di Poso sebagai ekses dari konflik. Ini menjadi tanggungjawab kita bersama untuk mengatasi radikalisme dan terorisme,” katanya.

Wakil Bupati Samsuri menambahkan bahwa masyarakat Poso ingin kembali hidup normal dan damai. Mereka berharap aksi sekelompok kecil kelompok teroris semoga tidak mengganggu kondisi damai dan pembangunan pasca konflik.

“Kita yakin bahwa bersama dan bersatu antar elemen sosial masyarakat akan memperkuat Poso, Sintuwu Maroso (bersatu kita kuat). Banyak delegasi dari Riau, Tarakan, Bekasi datang ke Poso belajar kerukunan beragama dan resolusi konflik. Poso kini menjadi contoh bagaimana hubungan antar agama hidup menjaga perdamaian lebih permanen,” papar Samsuri.

Iskandar, anggota DPRD Kabupaten Poso, menyatakan bahwa munculnya radikalisme saat ini tidak terlepas pada konteks konflik masa lalu di Poso. Karena itu, kita perlu menempatkan radikalisme dan terorisme di Poso pada konteks berbeda dengan terorisme yang ada di Jawa.

“Poso membutuhkan keadilan sebagai bagian dari upaya menjaga perdamaian. Deklarasi Malino masih banyak yang belum terealisasi. Reintegrasi sosial belum tuntas saat ini. Segregasi masyarakat masih terjadi. Visi Pemerintah Daerah 2016-2021 juga ingin menuntaskan masalah radikalisme dan terorisme di Poso dengan melibatkan semua kelompok masyarakat,” imbuh dia.

Sementara Polres Poso menekankan keamanan Poso membutuhkan peran dan tanggungjawab semua pihak. Masih ada sisa dari kelompok Santoso yang membutuhkan proses reintegrasi sosial melalui peran masyarakat.

Workshop ini dilaksanakan Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso kerjasama dengan Pusat Studi Timur Tengah dan Perdamaian Global (PSTPG) FISIP UIN Jakarta, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Convey Indonesia dan UNDP.

Kegiatan ini merupakan best practise dari studi sejak 1 Agustus 2017 Desember 2017 terkait Asesmen Program Ekonomi Kaum Muda dan Upaya Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme di lima kota, lima provinsi di Indonesia: Poso-Sulawesi Tengah, Nunukan-Kalimantan Utara, Solo-Jawa Tengah, Lamongan-Jawa Timur, dan Medan-Sumatra Utara.

Workshop dibuka oleh Bupati Poso yang diwakili Wakil Bupati Poso Samsuri dan beberapa panel. Panel pertama “Potret Masalah Ekstrimisme dan Upaya Penangananya di Tingkat Nasional dan Lokal” dengan pembicara Wakil Bupati Poso, Samsuri, Jajang Jahroni, PhD (Peneliti Senior PPIM UIN Jakarta dan Convey Indonesia), Iskandar (DPRD Kabupaten Poso), dan Kapolres Poso.

Panel kedua “Peran Organisasi Masyarakat Sipil, Ormas Keagamaan dan Institusi Pendidikan dalam Menangkal Radikalisme dan Strategi Memperkuat Peran Pemuda dalam Pembangunan Perdamaian di Poso,” menghadirkan pembicara Badrus Sholeh, Ph.D (Direktur PSTPG FISIP UIN Jakarta), Gus Ibrahim (STAI Poso), Adriany Badrah, M.Si (Direktur Celebes Institute dan Dosen Universitas Tadulako Palu). Adapun Panel ketiga “Shering Best Practies; Deradikalisasi dan Reintegrasi Social oleh Mantan Pelaku Kekerasan Ekstrimise” menghadirkan pembicara Ustaz Hasanuddin (Pengasuh Yayasan Amanatul Ummah dan Mantan Napiter Poso) dan Arifuddin Lako (Direktur Rumah Katu dan mantan Napiter Poso).

Workshop dihadiri lebih dari 100 orang yang terdiri dari dinas-dinas, LSM, pemuda, dosen, guru, mahasiswa dan siswa.

Pada panel kedua, Badrus Sholeh menyatakan bahwa workshop hari ini merupakan pemaparan hasil studi selama lebih dari enam bulan sejak 1 Agustus 2017 di Poso dan empat kota-provinsi lainnya di Indonesia tentang evalusai dan esesmen pemberdayaan ekonomi kaum muda terkait dengan counter violent extremism melalui indepth interview terhadap lebih dari 100 responden.

“Poso sebagai daerah pasca konflik memiliki tantangan bagaimana mantan kombatan dan mantan teroris menyatu dalam masyarakat. Mereka telah mendapatkan bantuan ekonomi dari BNPT, Dinas PU, Dinas Koperasi dan UKM Poso sebagai bagian dari reintegrasi sosial ekonomi,” kata Badrus.

Kurangnya monitoring dan pengawasan atas bantuan ekonomi, kata dia, membuat tidak efektif program ekonomi bagi mantan mantan teroris dan mantan kombatan. Bantuan ekonomi menjadi habis sebagai kebutuhan konsumtif.

Ibrahim dan Adriyani Badrah juga menyakan bahwa reintegrasi mantan teroris dan kombatan perlu melibatkan masyarakat dan lembaga Pendidikan. Beberapa mantan kombatan bisa kuliah melalui beasiswa yang positif bagi masa depan mereka.

Pada panel terakhir, Hasanuddin (pengasuh Yayasan Amanatul Ummah) menyampaikan bahwa mengatasi masalah Poso harus dilakukan oleh orang Poso sendiri. Radikalisme di Poso berbeda dengan Jawa. Ketika mantan napi teroris keluar dari penjara masyarakat malah menerima mereka dengan tangan terbuka. Mereka adalah pahlawan. Karena itu konteks konflik menjadi penting dilihat untuk memahami radikalisme di Poso.

Hasanuddin mengaku bahwa dia pernah dipenjara vonis 20 tahun akibat dianggap terlibat dalam aksi terorisme. Dia yakin menjaga perdamaian di Poso membutuhkan kesadaran bersama, dan menjaga keadilan untuk semua.

Arifuddin Lako alias Brur, mantan napiter yang kini aktif dalam komunitas sosial yang melibatkan semua anak muda dari lintas agama berpendapat perlunya tanggungjawab bersama membangun Poso agar imej konflik dan radikal tidak ada lagi. Brur menyatakan bahwa Rumah Katu sengaja membuat film pendek yang menjadi pelajaran bagi anak muda sekarang pengalaman konflik pada masa lalu dan radikalisme yang harus ditinggalkan.[dem]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

twenty − ten =

Indonesia