KABARTIMURNEWS.COM – Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina Jakarta, yang bekerjasama dengan Dirjen Binmas Islam Kementrian Agama, menggelar kegiatan lokakarya penyuluh agama selama dua hari di Swisbell Hotel, Kota Ambon, Selasa (27/11).
Lokakarya penyuluh agama yang mengangkat tema “Agama, Kerukunan dan Binadamai di Indonesia” ini, diselenggarakan untuk mengatasi berbagai gesekan yang sewaktu-waktu terjadi di tengah masyarakat, apalagi di tahun Politik saat ini.
“Biar jika terjadi gesekan, akan berlangsung dengan aman. Mengapa penyuluh, karena dia garda terdepan. Posisinya sangat penting sekali di depan masyarakat,” ungkap Ihsan Ali Fauzi, pendiri dan direktur PUSAD Yayasan Paramadina Jakarta, kepada wartawan di Ambon, kemarin.
Selama dua hari, kata Dia, para penyuluh akan diberikan berbagai keilmuan, seperti wawasan Kebangsaan, termasuk di dalamnya terdapat toleransi, dan inklusifisme. Dia mengaku, gesekan pasti ada, biasa dan itu natural di tengah masyarakat. Namun mengatasinya bukan dengan cara kekerasan, tapi mengedepankan musyawarah dan mediasi.
“Tentang konflik konflik itu ada, biasa, natural, cuman harus diselesaikan dengan cara-cara damai. Jadi konflik itu tidak diselesaikan dengan berkelahi, tapi dengan cara musyawarah, mediasi,” jelasnya.
Di tahun politik, lanjut Ihsan, setiap daerah yang pernah dilanda konflik, akan dianggap sebagai wilayah rawan. Namun baginya, penyematan daerah rawan itu, tidak lantas menjadikan amarah, tapi bagaimana masyarakat mampu mengatasinya dengan persiapan yang lebih baik lagi.
“Setahu saya, semua wilayah yang pernah terjadi kekerasan, dianggap rawan. Menurut saya sih ditanggapinya secara positif aja. Nggak usah ditanggapi dengan marah. Kalau memang itu, ya ok. Sehingga persiapan kita lebih banyak saja,” ujarnya.
Ihsan mengakui pernah menyesali terjadinya konflik bernuansa agama di Maluku. Tapi dari konflik tersebut, terdapat sebuah pembelajaran besar yang bisa diambil dan dijadikan sebagai pengalaman berharga untuk lebih melangkah maju ke depan.
“Jadi ketika kita ngomong tentang masa lalu, poin besarnya apa pembelajaran yang kita ambil. Antara lain, langkah-langkah prefentif agar ketegangan itu dikelola, sehingga ketegangan itu tidak memuncak menjadi kekerasan,” jelasnya.
Toleransi kehidupan bermasyarakat di Maluku saat ini sangat tinggi. Namun disisi lain, tantangan ke depan akan semakin berat dengan kehadiran media sosial. Kejadian di Jakarta, misalnya, kata Ihsan, dalam hitungan detik di hari yang sama dapat berimbas di Ambon, Maluku.
“Jadi tantangan di Ambon dan Maluku bisa saja terjadi di tempat lain dan berimbas di sini. Sehingga pembelajaran mengatasi permasalahan masa lalu harus diperkuat dalam rangka menghadapi tantangan yang lebih baru. Antara lain media sosial yang dulunya tahun 1998-2000 belum ada, atau belum seintensif saat ini. Sekarang lebih intensif lagi,” ujarnya.
Maluku, tambah Ihsan, memiliki pengalaman dalam mengelola rumor. Apalagi dengan hadirnya media sosial yang belakangan ini dijadikan sebagai alat untuk menyebar kebencian dan hoax (berita tidak benar).
“Jadi secara teknis bagaimana media sosial itu di kelola menghindari hoax, dan melawannya. Dan yang lebih penting, adalah kami ingin belajar dari Maluku. Apa yang sudah dilakukan di sini, dapat kita ambil untuk dijadikan sebagai pembelajaran kepada teman-teman di Indonesia Bagian Barat,” harapnya.
Ali Nur Sahid, staf peneliti PUSAD Yayasan Paramadina Jakarta, mengaku, kegiatan lokakarya penyuluh agama, dilaksanakan di sembilan Kota di Indonesia, termasuk Kota Ambon.
“Kegiatan ini bekerjasama dengan Dirjen Binmas Islam Kementrian Agama. Sebelumnya di Manado, Kupang, Palangkaraya, Semarang, Bandung, Bima dan saat ini Ambon. Minggu depannya di Aceh,” katanya kepada Kabar Timur.
Kegiatan yang difokuskan di Kota Ambon, tambah Ali, karena ingin belajar bagaimana membangun binadamai. “Terkait konflik itu seperti apa, dan apa saja yang harus dilakukan,” ungkapnya.
Menurutnya, kegiatan ini juga dilakukan untuk sharing terkait berbagai isu apa saja yang muncul terkait keagamaan dan bagaimana cara mengelolanya. “Sehingga salah satu materi yang kita kenalkan adalah Bagaimana Menangani Konflik, Bagaimana Mengenal Ujaran Kebencian, Hoax dan lain lain. Apalagi di tahun politik ini, ujaran kebencian dan hoax sedang marak-maraknya,” terangnya.
Dijelaskan, fungsi penyuluh agama, di tahun politik dianggap sangat penting untuk meredam dan mengendalikan situasi yang berbau Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Penyuluh sebagai garda terdepan Kementrian Agama, khususnya pemerintah, memiliki wawasan yang cukup, dan ketrampilan memadai dalam menangani persoalan konflik agama maupun politik dengan memakai isu SARA. “Peserta yang ikut sebanyak 60 orang dari penyuluh agama islam, kristen, katolik, hindu, budha, semuanya,” pungkasnya. (CR1)
sumber : https://www.kabartimurnews.com/2018/11/28/penyuluh-agama-mampu-atasi-gesekan-di-tahun-politik/