Berkaitan dengan rencana untuk menangkal paham ekstremisme, daerah perbatasan memiliki tantangan tersendiri. Daerah perbatasan seringkali memiliki permasalahan sosial ekonomi yang berbeda dari daerah lain. Bisnis ilegal, perdagangan manusia, penegakan hukum yang lemah, tingkat pendidikan yang rendah, serta buruknya kualitas kesehatan penduduk menjadi fenomena yang umum dijumpai pada masyarakat yang hidup di perbatasan.
Karena lokasinya yang terpencil dari moderasi agama yang layak, stabilitas ekonomi, dan standar pendidikan yang rendah, maka daerah perbatasan menjadi lokasi strategis bagi kelompok radikal, ekstremis, bahkan teroris untuk menyelundupkan senjata lintas perbatasan, menyelundupkan kader, dan memperluas ideologi ekstremisme yang lekat dengan kekerasan. Bentang alam yang ada, menyediakan berbagai jalur baik darat dan laut yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas perdagangan barang dan pergerakan manusia antar negara yang sudah ada sejak dahulu kala serta tersebar pada beberapa titik, sehingga sulit untuk diawasi.
Hal ini khususnya terjadi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari Kepolisian Sangihe, Anthony Salim menggunakan jalur perbatasan pada tahun 2002 untuk menyelundupkan pengikutnya dan persenjataan dari dan ke negara Filipina. Di Nunukan, Reza Nurjamil, seorang anggota kelompok Ansharut Daulah asal Tasikmalaya, ditangkap pada tahun 2017 karena keterkaitannya dengan pergerakan ISIS. Di Batam, kepolisian setempat menangkap beberapa pelaku tindak terorisme dari Sumatra Barat pada tahun 2017. Beberapa contoh buruk ini menjadi bukti adanya anggapan bahwa kelompok teroris dan radikal telah memanfaatkan situasi demografi dan geografis daerah perbatasan.
Program pemberdayaan sosial ekonomi yang melibatkan peningkatan kapasitas kegiatan untuk menumbuhkan keterampilan sosial ekonomi dan kemandirian ekonomi lokal dipercaya dapat menjadi metode yang efektif dalam mengurangi paham ekstremisme di daerah perbatasan. Pemerintah sebenarnya telah berusaha untuk memperkuat daerah terpencil dan pedesaan, sebagai wujud nyata dari komitmen pemerintah untuk membangun Indonesia dari daerah pinggiran. Tetapi, alih-alih mendukung program sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerintah hanya terpaku pada pembangunan infrastruktur nasional sebagai prioritas utama.
Oleh karena itu, CONVEY Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat(LP2M) Universitas Islam Negeri Manado, melihat adanya urgensi untuk mengkaji program sosial ekonomi di daerah perbatasan dan menerapkan intervensi berdasarkan praktik terbaik berbasis bukti(evidence-based best practice) untuk menangkal radikalisme dan terorisme di daerah perbatasan. Fokus dari kajian penelitian ini adalah untuk menyelidiki dampak dari penerapan program sosial ekonomi di daerah perbatasan yang terindikasi terpapar paham radikalisme.
Program penelitian ini juga memberikan beberapa rekomendasi kebijakan strategis, khususnya kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Sosial. Policy brief yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dapat dilihat di sini, atau dalam Bahasa Inggris di sini.