BBC.COM – Sebanyak 10% kelompok muda setuju menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan boleh menggunakan kekerasan untuk membela agama.
Kecenderungan itu terjadi karena mereka terpapar situs atau akun di sosial media beraliran intoleransi maupun radikalisme, yang diklaim cukup menarik dari segi konten.
Hasil penelitian yang dilakukan lembaga survei dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu dilakukan tahun lalu dengan menyaring 2.300 responden di seluruh Indonesia.
“Yang sangat signifikan, siswa dan mahasiswa itu banyak beraktivitas di media sosial cenderung lebih intoleran dibanding yang tidak mengakses internet. Ini menunjukkan ada korelasi tentang cara keberagamaan generasi milenial dengan sosial media,” ujar Guru Besar UIN Jakarta, Jamhari, kepada wartawan, Rabu (20/02).
Berdasarkan penelitian itu pula, situs atau akun milik kelompok intoleran atau radikal memenuhi dunia maya dan menyasar kalangan muda.
Sementara, situs yang dipunyai organisasi Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah dianggap tidak menarik.
“Mengapa website-website besar seperti NU dan Muhammdiyah kurang diminati? Karena terlalu berat. Generasi milenial itu mau belajar agama semudah mengakses informasi makanan. Mereka maunya cepat dan ready,” jelasnya.
Karena itu pihaknya menggelar CONVEY Festival yang dikhususkan kepada pemuda dengan tujuan mengenalkan agama dalam gaya baru melalui e-book dan permainan online.
Salah satu anak muda, Khaira Dhania, sempat terpapar konten-konten intoleransi dan radikalisme lewat media sosial.
Pada tahun 2015, ia bersama keluarganya pergi ke Suriah untuk mewujudkan keyakinannya tentang kekhalifahan. Ia mengaku kerap mendapat dan menyebarkan konten berita mengenai propaganda ISIS tanpa mengecek kebenarannya.
“Saya dulu itu termasuk orang yang kalau ada berita tidak di-cross-check. Saya telan bulat-bulat. Seiring waktu, saya sadar apa yang saya lakukan salah,” tukas pelajar SMA di Jakarta ini.
Berdasarkan pengalamannya saat itu, tidak banyak situs keagamaan Islam moderat yang ia peroleh dan kalaupun ada, kontennya tak menarik. Bagi perempuan 19 tahun ini, situs keagamaan untuk generasi muda sebaiknya sederhana dan tidak bertele-tele.
“Anak-anak muda itu pengennya simpel belajar agama. Di media sosial misalnya video durasi satu menit,” imbuhnya.