VIVA – Tak lama lagi, agenda pendidikan di Indonesia akan memasuki tahun ajaran baru, yaitu yang biasanya jatuh pada bulan Juni-Juli. Sebagian dari Anda mungkin sudah mulai menimbang dan menyeleksi sekolah mana yang tepat untuk anak melanjutkan pendidikan. Termasuk sederet ekspektasi peningkatan kecerdasan anak ketika ia sudah memasuki sekolah baru.
Pertimbangan umum ketika orangtua menjatuhkan pilihan sekolah anak, biasanya melibatkan aspek pola pengajaran, kurikulum, budaya sekolah, prestasi, biaya, serta lokasi. Aspek-aspek tersebut memang penting diperhatikan agar kebutuhan individu anak dalam mendapat pendidikan bisa terpenuhi. Apalagi sekolah juga menjalankan fungsi sebagai agen pembelajaran dan pendidikan, sekaligus rumah kedua bagi anak.
Mengingat beberapa tahun belakangan marak isu radikalisme di lingkungan akademis, orangtua semestinya menambahkan aspek ini dalam memilih sekolah untuk anak. Radikalisme yang menjalar di lembaga pendidikan itu bukan sekadar asumsi. Data survei dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah menunjukkan pengaruh intoleransi dan radikalisme menyebar ke banyak sekolah dan universitas di Indonesia.
Dari penelitian yang melibatkan ribuan siswa dengan latar belakang generasi Z (kelahiran tahun 1996-2012) dari 34 provinsi itu, ditemukan lebih dari sepertiga muslim setuju bahwa jihad adalah perang, terutama perang melawan non muslim. Sebanyak 1 dari 5 responden setuju bahwa bom bunuh diri adalah jihad Islam.
Sepertiga muslim generasi Z dalam responden itu setuju, muslim yang murtad (keluar dari agama Islam) harus dibunuh. Hampir sepertiga mereka juga berpendapat bahwa perbuatan intoleran terhadap minoritas adalah tidak masalah.
Senada dengan penelitian UIN Syahid tersebut, M. Abdullah Darraz, Direktur Eksekutif Maarif Institute mengatakan, “Kami sudah melakukan riset sejak 2011 dan menemukan bahwa gejala radikalisme itu sudah sedemikian rupa masuk ke sekolah dan hingga saat ini ekskalasinya cukup tinggi, lebih tinggi dari sebelumnya,” katanya pada VIVA beberapa waktu lalu.
Jika mengacu pada data itu, radikalisme di sekolah penting untuk kita waspadai. Mengapa? Menurut Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, aktivis toleransi lintas agama, serta psikolog anak dan keluarga, radikalisme bisa jadi biang anak menganut pola pikir sempit yang mendorongnya menjadi pelaku kekerasan.
“Ketika orang mengalami proses radikalisasi, nilai-nilai dalam hidupnya berubah. Nilai-nilai ini salah satunya dengan membolehkan melakukan kekerasan, demi tujuan yang ingin dicapai,” kata Alissa dalam sambungan telepon kepada VIVA, Kamis, 17 Mei 2018.
Selain itu, radikalisme juga merupakan akar dari tindakan teror, meski tidak semuanya. “Apakah setiap orang yang mengalami radikalisasi pasti menjadi teroris? Tidak. Tapi seorang teroris pasti berawal dari radikalisasi,” kata Alissa.
Mungkin Anda bertanya-tanya dari mana asalnya sekolah disusupi radikalisasi? Menurut Darraz, ada dua faktor yang menjadi pintu masuk infiltrasi radikalisme, yaitu internal dan eksternal. Di faktor internal, melibatkan guru dan kepala sekolah yang turut menjadi agen radikalisasi. Sedangkan faktor eksternal, yaitu pihak luar yang datang ke sekolah, biasanya masuk melalui acara seminar atau kegiatan mentoring ekstra kurikuler.
Sehingga, apabila yang berperan adalah oknum pendidik (guru, kepala sekolah, dosen) maka bukan tidak mungkin semua level pendidikan, mulai dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi, rawan terjerat radikalisme.
Selanjutnya, Alissa setuju bahwa orangtua perlu merasa penting untuk memilih sekolah demi membentengi anak dari infiltrasi radikalisme. Bagaimana caranya?
“Saya menyarankan supaya orangtua mendatangi langsung sekolah itu dan melihat seperti apa? Kalau itu sekolah negeri, biasanya ada ornamen-ornamen agama tertentu di dalam kelas. Lho, ini sekolah negeri dan tidak semua agama, hanya satu agama. Nah, menurut saya ini tanda-tanda, berarti di sekolah itu, ekosistemnya eksklusif untuk satu agama,” kata Alissa.
“Bagi saya di situ sudah menggambarkan bahwa ada praktek-prakter superioritas. Karena kalau dia sekolah negeri, yang seharusnya tidak memihak pada satu agama tertentu, kalau mau masang ornamen agama, pasti semua agama dipasang,” ujar Alissa menambahkan.
Selain itu, indikasi lain sekolah negeri menerapkan praktik superioritas berlandaskan satu agama, dapat diketahui dari peraturan perayaan hari besar agama bagi kalangan minoritas di sekolah tersebut, “Orangtua ketika survei sekolah, harus tanya itu juga. Kelompok minoritas kalau di sini merayakan hari besar agamanya, di dalam sekolah atau di luar sekolah? Kalau di luar sekolah, berarti praktiknya sudah praktik intoleransi,” kata Alissa.