Islam Moderat Harus Membumi

Survey PPIM Ungkap 3 Faktor yang Terkait Intoleransi dan Radikalisme Guru
Oktober 17, 2018
PPIM: Guru Madrasah Perlu Diberi Kesempatan Mengenal Lingkungan yang Majemuk
Oktober 17, 2018

MEDIATRANSPARANCY.COM – UIN Jakarta menggelar launching hasil survei di Hotel Le Meridien, 16 Oktober 2018. Survei
PPIM UIN Jakarta
2018 “Pelita yang Meredup” ini merupakan kelanjutan dari survei “Api dalam Sekam” tahun 2017 mengenai keberagamaan siswa/mahasiswa dan guru/dosen.

Fenomena maraknya kecenderungan intoleran dan radikalisme agama tidak hanya terjadi pada siswa sekolah menengah, namun juga terjadi pada level pendidikan paling dini sekalipun.

Ada temuan yang menarik dari survei tahun lalu, bahwa guru memiliki tingkat opini intoleransi yang cukup tinggi. karenanya tahun ini PPIM memperdalam temuan tersebut dengan melakukan survei terhadap 2.237 guru dan kepala sekolah (musllim) di 34 provinsi.

Sedangkan alat ukur yang digunakan adalah self report- CAI dan IAT, IAT ini jarang digunakan terlebih di Indonesia. Tes psikologis ini lebih bersifat tidak langsung dan memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi pada responden dewasa.

Profil sampel guru mencakup kategorikal mata pelajaran yang diampu, guru kelas (sekolah dasar), honorer, dari yayasan, penghasilan, jenis kelamin, dll. Mulai dari guru TK/ RA, SD/MI, SMP/MTS, SMA/K/MA.

Temuan
Temuan-temuan menarik di lapangan berdasarkan survei yang dilakukan di lapangan yang pertama adalah guru di Indonesia mulai dari TK/RA hingga SMA/MA memiliki opini toleran dan opini radikal yang tinggi.

Direktur PPIM UIN Jakarta menjelaskan bahwa opini intoleran para guru melalui uji IAT mencapai 56.90% dan melalui kuesioner sebesar 63.07%.

Bila ada kesempatan, aksi intoleran 29% guru berkeinginan untuk menandatangani pelisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama.

Lalu, 34% guru pun berkeinginan untuk menandatangani petisi menolak pendidikan sekolah berbasis agama non-islam di sekitar tempat tinggalnya.

Ironisnya, 29% guru setuju untuk ikut berjihad di Filipina Selatan, Suriah, atau Irakdalam memperjuangkan berdirinya agama Islam.

Kemudian, 33% guru pula setuju untuk menganjurkan orang lain agar ikut berperang mewujudkan negara Islam.

Sedang 27,59% guru berkeinginan untuk menganjurkan orang lain agar ikut berperang dalam mewujudkan negara Islam.

Tak sampai disitu, 13.30% guru berkeinginan untuk menyerang polisi yang menangkap orang-orang yang sedang berjuang mendirikan agama Islam.

Bila dilihat dari sisi gender, guru wanita ternyata memiliki sifat intoleran yang lebih tinggi dibandingkan guru laki-laki. Bila dilihat dari jenis sekolah, ternyata sekolah swasta dan madrasah memiliki sikap intoleran yang lebih tinggi dibandingkan sekolah negeri.

Faktor-faktor yang terkait dengan intoleransi dan radikalisme diantaranya adalah pandangan Islami, aspek demografis, dan ormas serta sumber pengetahuan keislaman.

Peran ormas Islam yang paling berperan dalam timbulnya sikap intoleran dan radikalisme yaitu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdhatul Wathan, Majelis Tafsir Alquran, dan Front Pembela Islam.

Kalau ditinjau dari pengalaman organisasi yang pernah diikuti guru pada saat mahasiswa, ternyata organisasi HMI memberi pengaruh 12.30%, PMII 7.20%, LDK 3.98%, KAMI 1.4%, dan IMM 0.9%. Sedangkan 62.28% guru tidak pernah aktif berorganisasi pada saat menjadi mahasiswa.

Henny Supolo Sitepu (Ketua Yayasan Cahaya Guru) mengatakan bahwa,”bisa jadi guru menjadi intoleran bukan berarti karena mereka ‘tidak mau’ tetapi bisa jadi mereka ‘tidak tahu’. Ketidaktahuan guru tentang agama lain membuatnya memiliki sikap intoleran.

“Kita perlu membuka ruang-ruang perjumpaan, mengadakan praktik-praktik yang positif, dan mengangkat nilai kemanusiaan agar guru mulai menyadari bahwa kebinekaan merupakan suatu perbedaan yang indah, yang harus ditanamkan kepada peserta didiknya”, imbuh Henny Supolo Sitepu,MA.

Heru Purnomo (Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia) juga menanggapi hasil survei nasional PPIM. Ia mengatakan bahwa pendidikan merupakan strategi pengetahuan yang harusnya digunakan para guru untuk menyampaikan paham-paham intoleran dan radikalisme kepada muridnya.

Heru juga mengatakan,”Guru muda yang berpenghasilan rendah cenderung memiliki sifat intoleran. Ya mungkin saja itu karena ia sedang mencari keadilan dan keadilan yang hakiki di dunia ini adalah keadilan Tuhan. Oleh karena itu ia lebih menekankan muridnya untuk taat beragama saja”

Bahrul Hidayat, Ph.D (Ahli pendidikan) menanggapi bahwa “identity closes” membawa pengaruh yang besar kepada individu untuk lebih mengutamakan orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu mereka menolak untuk memilih kepala dinas yang berbeda agama.

“Bagian lain yang harus kita pahami yaitu mengenai pembelajaran keagamaan kita sendiri. Apakah kita dan tokoh agama kita sudah mengajarkan Islam yang rahmatan lil alamin?”, imbuh Bahrul Hidayat (Ahli Pendidikan).

Menurut Prof. Dr. Jamhari Makruf (Advisory Board PPIM),”Guru memang aktor penting yang memberi pengaruh tumbuhnya sikap intoleran. Untuk itu, perlu berbagai program yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mendapat pengalaman dalam lingkungan yang majemuk dan beragam”

Rekomendasi
Sebagai hasil dari penelitian, PPIM UIN Jakarta mengajukan rekomendasi sebagai berikut : Pertama, perlu berbagai program yang memberikan kesempatan pada guru madrasah untuk mendapat pengalaman dalam lingkungan majemuk dan beragam, meningkatkan religious literasi pada guru madrasah agar mengenal agama dan kelompok yang berbeda.

Kedua, salah satu cara yang efektif memperkuat wawasan kebangsaan dan kemajemukan para guru baik yang mengabdi di madrasah maupun swasta adalah pemberdayaan lembaga-lembaga yang memproduksi guru, seperti LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), Pendidikan Profesi Guru (PPG), Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PPKB).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 − seven =

Indonesia