Era millennial yaitu era pesatnya perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi. Istilah millennial didapatkan karena ini satu-satunya generasi yang pernah melewati millennium kedua, hal ini dikenalkan oleh sosiolog asal Hungaria yaitu Karl Mannheim. Populasi pemuda Muslim Indonesia mengalami pergeseran tradisi, yang dulunya bersifat tradisional bertranformasi ke sistem digital. Hal seperti ini tentunya mempengaruhi identitas, tradisi, keagamaan, dan pola sosial generasi Muslim saat ini. Menurut proyeksi jumlah populasi generasi Muslim Indonesia akan meningkat karena mengalami lonjakan demografi. Apalagi mayoritas masyarakat Indonesia menganut agama Islam.
Dewasa ini kita dihadapkan dengan berbagai realitas, yakni realitas sosial dan realitas virtual. Keduanya hadir bersamaan dan mampu mempengaruhi corak masyarakat, tergantung realitas apa yang dominan dalam generasi masyarakat saat ini. Realitas sosial lebih kepada kenyataan sekitar yang dijumpai masyarakat. Sedangkan, realitas virtual dicitrakan melalui internet dan media sosial.
Kesalehan Millenial
Kecenderungan generasi Muslim Indonesia saat ini adalah menyimak isu-isu keagamaan di media sosial. Fans page dakwah virtual telah berkembang pesat saat ini. Keberadaan dakwah virtual ini menjadi literasi alternatif ke-Islaman pemuda Muslim millenial. Dakwah virtual biasanya berisi konten yang bersifat skriptual yang memahami agama dengan merujuk al-Qur�an dan hadis tanpa interpretasi. Konten yang dikemas dengan video menjadi strategi ustadz seleb dalam berdakwah. Strategi ini dimulai seiring perkembangan new media (media baru) yang dimana generasi millenial lebih menyukai hal yang berbasis virtual. Tak jarang kita jumpai mereka lebih mengidolakan ustadz media sosial atau yang akrab disapa ustad seleb daripada ulama temporer. Ustadz seleb diminati karena selalu hadir memberikan pengetahuan ke-Islaman melalui ruang virtual mereka. Sehingga hal ini memicu sikap fanatisme dan paham toleransi skriptual Muslim millenial saat ini.
Tentunya keadaan ini memberi signifikansi moralitas dan kesalehan bagi generasi millenial. Beragam alasan yang para generasi Muslim millenial lebih menyukai dakwah virtual. Ia merasa ceramah online lebih fleksibel dan efektif di manapun mereka berada meskipun bukan di tempat ibadah (masjid). Mereka cenderung menyaksikan ceramah online di medsos lalu membagikan ke followers (pengikut medsos). Mereka pun lebih mengidolakan ustad-ustadz seleb yang tenar di medsos.
Hibridasi Identitas Muslim Millenial
Hibridasi identitas yang dimaksud ialah adanya identitas sebagai hasil dari persilangan afiliasi dan orientasi keagamaan berdasarkan dinamika dan interaksi sosial-politik-keagamaan yang mempengaruhi mereka di lingkungan sosialnya. Hal demikian yang melahirkan sebuah identitas baru. Hasil penelitian CSRC, PPIM UIN Jakarta, Convey Indonesia, bekerjasama UNDP mengenai hibridasi identitas kaum muda Muslim, menyimpulkan bahwa penanda yang paling dominan dari kaum muda Muslim saat ini adalah mengalami suatu fenomena yang disebut dengan hybridation of identity (hibridasi identitas). Hibridasi identitas kaum Muslim millenial dipengaruhi pengalaman yang mereka dapatkan sejak usia remaja sampai studi di perguruan tinggi.
Riset tersebut menemukan ada hibridasi identitas sosial keagamaan di kalangan Muslim millenial. Sebagaimana, yang terjadi di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pada mulanya pemuda ini adalah seorang aktivis yang gigih memperjuangkan penegakan syariat Islam melalui organisasi Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI), dan berbagai organisasi serupa lainnya di Bulukumba dan wilayah Sulawesi Selatan pada umumnya. Akan tetapi perjuangannya tersebut keluar dari konteks setelah figur elite lokal di pemerintahan yang mengusung jargon-jargon tersebut berguguran. Ketika figur pemimpin pengusung syariat Islam kalah dalam kontestasi politik lokal karena kurang mendapat respon yang cukup oleh para konstituennya di daerah. Para aktivis yang dulunya berperan aktif di organisasi pergerakan syariat Islam, kini harus mengubah haluan karena dukungan untuk hal itu tak memadai. Karena itu mereka lebih memilih bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat yang tak bersentuhan dengan isu agama.Di sisi lain fenomena ini memberikan kecenderungan positif dalam arti terdapat keterbukaan pemikiran untuk menerima nilai-nilai baru tanpa meninggalkan basis sosial-religius.
Literasi Muslim Millenial
Ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan begitulah kutipan dari penyair terkemuka Indonesia yakni, Chairil Anwar. Di era modernisasi saat ini terdapat transformasi pola literasi masyarakat khususnya generasi millenial. Membaca buku atau mendapatkan informasi tidak hanya lewat buku-buku cetak saja namun juga berubah ke media Smartphone yang mampu memberikan bahan bacaan versi elektronik. Dalam riset yang telah dirilis oleh tim dari UIN Sunan Kalijaga, CONVEY Indonesia, PPIM UIN Syarif Hidayatullah, dan UNDP menemukan bahwa generasi Muslim millenial lebih tertarik dengan bacaan-bacaan Islamis populer. Generasi Muslim millenial saat ini lebih suka mengakses pengetahuan ke-Islaman dari karya-karya yang ditulis oleh para penulis Muslim Indonesia yang mengapropriasi ide-ide Islamis dan selanjutnya mengemas ke dalam bentuk tulisan populer, novel, dan komik. Tak sedikit bahkan mengakses sumber-sumber lain melalui aplikasi facebook, instagram, line, youtube, whatsapp, dan website bacaan lainnya. Hal itu memberikan pola baru produksi bacaan dari versi cetak ke versi digital.
Muslim Millenial dan Masa Depan Agama
Pola pergeseran corak keagamaan generasi Muslim millenial membawa pengaruh besar terhadap masa depan agama khususnya Islam. Dalam situasi seperti ini mereka harus berhadapan dengan Islamisme yang menawarkan harapan tentang perubahan. Agama menjadi narasi sensitif membentuk kostruk sosial di masyarakat dan kalangan muda saat ini. Sehingga, ada ketertarikan kepada sesuatu yang sifatnya sakral yang berorientasi ilahiah dibandingkan dengan relasi yang bersifat profan.
(Alumni Pps UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)