ARRAHMAH.CO.ID – Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Saiful Umam mengungkapkan, guru Muslim di sekolah atau madrasah swasta cenderung lebih intoleran terhadap pemeluk agama lain daripada dengan guru yang mengajar di sekolah atau madrasah negeri.
“Begitu pun, guru sekolah atau madrasah swasta lebih radikal dibandingkan guru sekolah atau madrasah negeri,” kata Umam usai acara Peluncuran Survei PPIM di Jakarta, Selasa (16/10).
Keterangan tersebut didasarkan pada survei yang dilaksanakan PPIM pada 6 Agustus hingga 6 September 2018 lalu. Hasil survei menunjukkan bahwa mean guru sekolah atau madrasah negeri adalah 48,71. Sementara mean guru sekolah atau madrasah swasta 45,44.
“Semakin sedikit mean-nya, maka akan semakin tinggi intoleransinya,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Umam juga menuturkan bahwa guru madrasah cenderung lebih intoleran terhadap non-Muslim dibandingkan guru sekolah. Angkanya, guru madrasah (mean=44,66)m sedangkan guru sekolah 47,79.
“Guru madrasah lebih intoleran pada pemeluk agama lain dibandingkan guru sekolah,” paparnya.
Total sampel guru yang disurvei mencapai 2.237 orang dari 34 provinsi di Indonesia. Sampel guru yang berjenis kelamin perempuan adalah 1.335 orang (59,79 persen), sementara guru laki-laki 898 orang (40,21 persen). Sampel guru tersebut juga diklasifikasi ke dalam beberapa kategori; guru sekolah negeri 1172 orang (52,39 persen), swasta 1065 orang (47,61 persen), guru PNS 925 orang (41,35 persen), tetap non-PNS 270 orang (12,08 persen), tetap yayasan 562 orang (25,13), dan honorer 479 orang (21,42).
Survei ini menggunakan dua alat ukur untuk mengukur tingkat intoleransi dan radikalisme. Pertama, Implicit Association Test (IAT). Alat ukur ini digunakan untuk melihat potensi intoleransi dan radikalisme guru secara implisit. Kedua, kuesioner. Ini untuk menilai intoleransi dan radikalisme serta faktor-faktor yang mempengaruhinya secara eksplisit.