6 Dari 10 guru punya sikap intoleran

57 Persen Guru Intoleran, Serikat Guru: Ancaman Bagi Bangsa
Oktober 18, 2018
Survei PPIM: Guru Indonesia Percaya Islam Solusi Semua Masalah
Oktober 18, 2018

Sejumlah calon siswa menyerahkan berkas-berkas kelengkapan pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 untuk diverifikasi di SMA Negeri 1 Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/7). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan sistem zonasi untuk PPDB 2018 julai dari TK hingga SMA untuk pemerataan akses dan kualitas pendidikan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww/18.

BERITAGAR.ID – Guru menjadi faktor penyebaran bibit intoleransi di sekolah. Berdasar survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018, diperoleh fakta, guru sekolah/madrasah sejak jenjang TK hingga SMA memiliki sikap intoleran dan radikal yang tinggi.

Dalam paparannya yang diterima Beritagar.id, salah satu temuannya adalah 63,07 persen guru memiliki sikap intoleran pada pemeluk agama lain. Misalnya, bolehkah nonmuslim mendirikan rumah ibadah di lingkungan mereka? Atau bolehkah nonmuslim menggelar acara keagamaan di sekitar mereka?

Hasilnya, 56 persen guru tidak setuju nonmuslim boleh mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar mereka. Lalu, 21 persen guru tidak setuju jika tetangga yang berbeda agama mengadakan acara keagamaan.

Tak hanya sikap, jika ada kesempatan, para guru itu juga ingin menyatakan pandangannya dalam aksi. Misalnya, jika ada kesempatan, 29 persen dari mereka ingin menandatangani petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama. Sedangkan 34 persen guru ingin menolak sekolah berbasis agama selain Islam di sekitar mereka tinggal.

Dalam soal radikalisme, para guru juga memiliki sikap yang mirip. Sepertiga dari populasi survei alias 33 persen sepakat menganjurkan orang lain agar ikut berperang mewujudkan negara Islam versi mereka. Sedangkan 29 persen guru setuju untuk ikut berjihad di Filipina Selatan, Suriah, atau Irak, dalam memperjuangkan berdirinya negara Islam menurut imajinasi mereka.

Tak sebatas sikap, jika ada kesempatan, sebanyak 27,59 persen guru ingin menganjurkan orang lain agar ikut berperang dalam mewujudkan negara Islam versi mereka. Bahkan, 13,30 persen guru ingin menyerang polisi yang menangkap orang-orang yang sedang berjuang mendirikan negara impian mereka.

Survei ini digelar pada rentang waktu 6 Agustus-6 September 2018 terhadap 2.237 orang guru di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Sampel dipilih secara acak sesuai proporsi jumlah guru tiap daerah.

Menurut Direktur Eksekutif PPIM Saiful Uman penelitian ini bertujuan melihat pandangan serta sikap keberagamaan guru sekolah dan madrasah di Indonesia. “Guru punya posisi strategis dan punya peran penting dalam pembentukan nilai-nilai, pandangan, serta pemikiran siswa,” kata dia di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (16/10/2018) seperti dinukil dari Tempo.co.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo menilai hal ini adalah ancaman bagi bangsa. “Jangan sampai potensi radikalisme dan intoleransi guru terjebak pada kondisi radikalisme pasif. Ini akan mencabut akar kepribadian Pancasila,” kata Heru dalam kesempatan yang sama.

Mengapa mereka memiliki sikap dan keinginan seperti itu?

Menurut PPIM, ada tiga faktor. Pertama, pandangan islamisme yang radikal. Gambaran Islamisme misalnya, 40,36 persen guru setuju seluruh ilmu pengetahuan sudah ada dalam Al Quran sehingga muslim tak perlu mempelajari ilmu yang berasal dari barat. Parahnya lagi, 82,77 persen guru sepakat, Islam satu-satunya solusi untuk mengatasi semua persoalan masyarakat.

Faktor kedua, demografi. Guru perempuan lebih intoleran dibanding guru laki-laki. Selain itu, guru TK justru lebih intoleran dari pada guru SD, SMP atau SMA. Temuan lain, makin rendah gaji guru, makin tinggi sikap intoleran dan radikalnya. Dan makin tua usia guru, makin toleran. Guru di madrasah juga lebih intoleran dibanding guru sekolah biasa.

Faktor ketiga adalah kedekatan guru dengan organisasi islam. Temuan penelitian sebelumnya menunjukkan, pertarungan pengaruh antara Ormas Islam ikut berperan menghasilkan kecenderungan konservatif dan gejala intoleran bahkan radikalisme.

Untuk itu, PPIM menyarankan kesejahteraan guru harus diperhatikan. Caranya dibuat standar pembayaran minimal guru yang lebih baik, tanpa membedakan status sekolah negeri maupun swasta.

Selain itu, guru juga perlu diperkaya pengalamannya menjalani situasi keberagaman. Lembaga-lembaga pendidikan guru juga harus digandeng untuk mencegah meluasnya paham intoleran dan eksklusif.

Henny Supolo Sitepu, pemerhati pendidikan dan ketua Yayasan Cahaya Guru, menilai masalah kebhinekaan di lembaga pendidikan Indonesia sudah terjadi sejak 2007. Untuk itu perlu pendekatan lebih strategis bagaimana mendidik generasi ke depan. Sebab, kelak anak-anak akan bekerja sama dengan orang berbagai latar belakang,

Dia mengusulkan untuk memasukkan nilai-nilai HAM, agama, demokrasi dan kemajemukan bangsa –yang tertuang dalam Pasal 4 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003– ke dalam akreditasi sekolah dan penilaian guru.

“Kalau tidak terbiasa untuk bekerja sama dari masa kecilnya maka anak-anakmu akan ketinggalan’,” ucap Henny seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

11 + 12 =

Indonesia