BENARNEWS.ORG – Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah melaporkan bahwa 57 persen guru berpandangan intoleran terhadap pemeluk agama lain, dan 37,77 persen berkeinginan untuk melakukan perbuatan intoleran.
Direktur PPIM UIN Jakarta, Saiful Umam menyebutkan survei dilakukan terhadap 2.237 guru Muslim mulai dari TK hingga SMA di 34 provinsi yang daerahnya dipilih secara acak berdasarkan teknik probability proporsional to size.
Tujuan survei yang dilaksanakan dari 6 Agustus sampai 6 September itu karena tren intoleransi yang meningkat di tengah masyarakat. Survei itu memiliki margin of error (MoE) 2,7 persen, dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
“Angka itu besar sekali. Semestinya agama memberikan kedamaian, seringkali dalam banyak kasus, agama digunakan sebagai pembenaran terhadap tindakan kekerasan dan intoleransi,” katanya kepada BeritaBenar di Jakarta, Rabu, 17 Oktober 2018.
Pertanyaan yang diajukan seperti “apakah non-Muslim punya hak jabatan dipilih, apakah kepala dinas harus beragama Islam dan pendirian rumah ibadah agama lain di lingkungan tempat tinggal”.
Hasilnya, kata dia, 55 persen menolak pendirian rumah ibadah agama lain di lingkungan tempat tingggal, 30 persen tidak setuju ada upacara agama lain di lingkungan mereka dan 73 persen mendukung pemimpin pemerintahan harus beragama islam.
Selain itu, 33 persen guru setuju untuk menganjurkan orang lain ikut berperang mewujudkan negara Islam dan 29 persen guru setuju ikut berjihad di Filipina Selatan, Suriah, atau Irak dalam memperjuangkan berdirinya negara Islam.
Dalam survei tersebut, sebanyak 40,36 persen guru setuju bahwa seluruh ilmu pengetahuan sudah ada dalam Alquran sehingga Muslim tidak perlu mempelajari ilmu pengetahuan yang bersumber dari Barat. 82,77 persen guru setuju bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi segala persoalan masyarakat.
“Mereka memandang Islam sebagai segalanya, paham yang absolut ini menyebabkan para guru mempunya pandangan intoleran,” kata Saiful.
Kualitas rendah
Pakar Pendidikan dari Eduspec Indonesia, Indra Charismiadji mengatakan hasil itu menguatkan kajian lainnya bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih tergolong rendah di dunia karena kualitas guru yang juga rendah.
“The highest result of education is tolerance. Maka jika ada guru yang intoleran berarti mereka bukan produk dari pendidikan, bukan tempatnya untuk mendidik,” katanya, mengutip ucapan Hellen Keller.
Menurutnya, hasil survei itu seharusnya direspons serius oleh pemerintah untuk memfilter kinerja guru sebagai seorang pendidik.
“Misalnya guru disaring apa cocok ditempatkan di sekolah, bagaimana dengan nilai toleransinya, semua harus diuji, harus ada liaison teaching,” ujarnya.
“Dulu kan orang tidak mau jadi guru karena gaji kecil, sekarang gaji besar jadi banyak yang mau jadi guru tapi tanpa diimbangi dengan keterampilan seorang guru.”
Ia mencontohkan, saat ini masyarakat Indonesia gampang dibodohi dan diadu domba dengan maraknya berita hoaks.
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi, mengatakan hasil survei itu sudah seharusnya diperhitungkan untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah kalau isu intoleransi di sekolah memang ada.
“Harusnya sekolah adalah zona netral yang menumbuhkan nilai dan mempersatukan bangsa, Seorang guru harus menjadi sumber nilai bagi siswa, di situ kepribadian guru dan siswa dibentuk. Hal yang terkait dengan rasisme, intoleransi, hoaks, isu ras dan agama tidak boleh ada di sekolah,” imbuhnya.
Dia menambahkan rekruitmen guru sejak awal harus diberi penekanan sanksi kalau ada yang intoleran karena akan mempengaruhi tumbuh kembang siswa di sekolah.
“Misalnya dengan melakukan rekonstruksi kurikulum pendidikan kesiapan guru dalam mengajar,” kata Unifah.
Tetapi, dia mengimbau masyarakat agar tidak mengeneralisasi guru sebagai sumber intoleransi karena tidak sepenuhnya guru seperti itu.
“Penelitian itu harus ada cek dan ricek benar atau tidak, siapa gurunya dimana, dalam level apa, umum atau agama perlu clear, supaya tidak menjadi generalisasi,” katanya.
Sedangkan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, menilai hasil survei itu tidak bisa dikatakan langsung mengklaim guru intoleran.
“Bukan berarti mereka intoleran, tidak sesederhana itu mengklasifikasikannya. Pertanyaan kuesioner harus lebih luas,” ujarnya.
Dia mengaku bahwa pihaknya banyak melakukan berbagai upaya dalam membentuk paham keagamaan yang moderat.
“Pelatihan guru pendidikan agama memasukkan materi moderasi agama, kita lakukan secara masif dan sistematis. Sudah menjadi menu utama dalam pelatihan guru,” katanya.
Selain itu, tambah Kamaruddin, kurikulum madrasah juga sudah memasukkan nilai Islam yang moderat dan dilakukan dengan berbagai program, termasuk pengawasan terhadap guru.
“Kalau ada guru yang terbukti intoleran, bisa dilaporkan dan akan kami bina,” pungkasnya.
Ia menambahkan hasil survei PPIM itu tidak bisa mengklaim langsung bahwa guru intoleran karena hal yang sama mungkin terjadi saat pertanyaan tersebut ditanyakan kepada non-Muslim.
Lembaga survei lain, Lingkar Survei Indonesia, September lalu merilis survei yang dilakukan sebulan sebelumnya terhadap 1.520 responden yang juga adalah pemilih pada Pemilu 2019.
Survei tersebut mendapati intoleransi kelompok Muslim terhadap non-Muslim cenderung tinggi, diwarnai dengan mayoritas Muslim keberatan jika non-Muslim menjadi kepala pemerintahan. Sebaliknya mayoritas non-Muslim tidak keberatan jika Muslim menjadi pemimpin pemerintahan.
Berdasarkan survei tersebut, mayoritas 59% warga Muslim keberatan jika non-Muslim menjadi presiden, dan 55% warga Muslim keberatan jika non-Muslim menjadi wakil presiden. Sebaliknya mayoritas non-Muslim tidak keberatan jika seorang Muslim menjadi presiden atau wakil presiden (86%).