Fenomena radikalisasi di dalam Lembaga Pemasyarakatan(Lapas) ternyata menjadi permasalahan serius dalam upaya untuk mencegah dan menangkal paham kekerasan ekstremisme(Preventing and Countering Violent Extremism (P/CVE)). Narapidana tindak terorisme yang ditangkap, justru menjadi semakin radikal di dalam penjara alih-alih keluar dari lingkaran terorisme. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi narapidana non-terorisme lainnya. Lebih ironis lagi, para staf dan kiai Lapas juga memiliki risiko yang sama terhadap radikalisasi. Proses radikalisasi yang terjadi di dalam lapas relatif instan karena para narapidana memiliki catatan kriminal sebelumnya. Oleh karena itu, menjadi teroris atau ekstremis pada suatu saat, bukanlah hal yang terlalu sulit untuk terjadi.
Fenomena ini khususnya terjadi di Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan(Lapas) dan program deradikalisasi yang kurang baik(baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah) tampaknya tidak cukup mampu dalam menjalankan fungsinya dengan baik : mengeluarkan narapidana teroris dari lingkaran terorisme melalui program rehabilitasi yang ada. Bahkan, alih-alih keluar dari pemahaman yang radikal, narapidana teroris kian menjadi radikal karena mekanisme penanganan terhadap narapidana terorisme tidak dilakukan dengan cermat.
CONVEY bekerja sama dengan Division for Applied Social Psychology Research(DASPR – Daya Makara) Universitas Indonesia telah melaksanakan sebuah riset penilaian terhadap beberapa program deradikalisasi yang sudah ada di dalam lapas, dan juga mendukung intervensi berdasarkan praktik terbaik berbasis bukti(evidence-based best practice). Semua temuan diformulasikan sebagai referensi berbasis bukti untuk rekomendasi kebijakan strategis dalam revitalisasi program deradikalisasi di dalam lapas yang terkait dengan menangkal ekstremisme berbasis kekerasan. Policy brief dari penilaian ini dapat dilihat di sini untuk tulisan dalam Bahasa Indonesia, atau di sini untuk tulisan dalam Bahasa Inggris.