KOMPAS – Sekolah rumah sebagai lembaga pendidikan alternatif memerlukan penilikan yang rutin dari dinas pendidikan guna memastikan pemenuhan hak-hak anak atas pendidikan, bermain, keamanan, dan ekspresi diri. Peraturan mengenai kewajiban anak usia sekolah terdaftar di pangkalan Data Pokok Pendidikan harus digalakkan.
Hal ini menjadi topik yang ditekankan dalam acara pemaparan hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Penelitian tersebut berjudul ”Radikalisme dan Homeschooling: Menakar Ketahanan dan Kerentanan” yang dilakukan kepada para pelaku sekolah rumah (SR) di Jakarta, Depok (Jawa Barat), Bandung (Jabar), Tangerang Selatan (Banten), Solo (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Padang (Sumatera Barat), dan Makassar (Sulawesi Selatan).
Kepala Seksi Pendidikan Kesetaraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Subi Sudarto menjelaskan, Peraturan Mendikbud No 129/2014 tentang Sekolah Rumah (SR) membaginya menjadi tiga kategori. Pertama, SR tunggal yakni orangtua memutuskan mendidik anak di rumah dengan metode dan materi yang dikembangkan sendiri berdasarkan keputusan orangtua ataupun kesepakatan dengan anak.
Jenis kedua, SR majemuk, yaitu jaringan dua pelaku SR tunggal atau lebih untuk saling membantu. Misalnya, orangtua memiliki keterbatasan wawasan mendidik anak pada materi tertentu, ia lalu meminta bantuan orangtua lain agar mengajarkan materi tersebut.
Sementara jenis ketiga, yakni SR komunitas, yaitu kumpulan para pelaku SR yang mendirikan lembaga pendidikan alternatif dengan pengajar dan kurikulum terstruktur, walaupun kegiatan belajar-mengajar tetap dilakukan di rumah.
”Untuk SR tunggal ini memang sukar pendataannya sehingga pemantauan oleh penilik juga banyak mengalami kendala,” kata Subi.
Diskusi tersebut memaparkan risiko persebaran ideologi ekstrem yang intoleran terhadap kemajemukan bangsa melalui gerakan SR. Penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah menemukan beberapa SR tunggal, majemuk, dan komunitas yang bekerja dengan landasan ideologi anti-Pancasila.
Koordinator penelitian Arif Subhan mengungkapkan, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 19 Tahun 2014 menyatakan orangtua yang mempraktikkan SR harus mendaftar ke dinas pendidikan dan SR komunitas harus beroperasi atas izin dinas pendidikan.
Namun, mayoritas dinas pendidikan yang ditemui peneliti tidak memiliki data jumlah dan nama para pelaku SR. Akibatnya, muncul SR-SR berbasis keagamaan yang eksklusif dan mendidik anak-anaknya untuk tidak menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Namun, mayoritas dinas pendidikan yang ditemui peneliti tidak memiliki data jumlah dan nama para pelaku SR. Akibatnya, muncul SR-SR berbasis keagamaan yang eksklusif dan mendidik anak-anaknya untuk tidak menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Anastasia Rima menjelaskan, keberadaan SR bukan untuk mengeksklusifkan diri, anak, dan keluarga dari masyarakat. Sejatinya SR turut mewujudkan wajib belajar dengan memberikan akses pendidikan kepada anak-anak yang tidak masuk ke dalam sistem pendidikan formal.
Pendidikan tidak hanya bertujuan mengembangkan potensi anak, apalagi sekadar mencapai ambisi orangtua. SR juga harus membentuk anak-anak yang bisa berintegrasi dengan masyarakat luas. Artinya, SR harus mengajarkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar, pengetahuan kewarganegaraan, dan kebangsaan. Metode dan waktunya bebas disesuaikan pola belajar anak.
”Asah Pena akan menyosialisasikan kewajiban mendaftarkan nama anak peserta SR ke Data Pokok Pendidikan juga membuat petunjuk standar pelaporan bagi para orangtua dan SR komunitas. Standar tidak akan mengintervensi pada cara kegiatan belajar dilakukan,” ujarnya.
Sumber : https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/11/29/sekolah-rumah-belum-terpantau-menyeluruh