3 Faktor Terkait dengan Intoleransi dan Radikalisme Guru di Indonesia

PPIM Sebut Guru TK/RA Cenderung Lebih Intoleran dan Radikal
Oktober 18, 2018
‘Guru Swasta Cenderung Lebih Intoleran daripada Guru Negeri’
Oktober 18, 2018

NU.OR.ID – Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Saiful Umam mengemukakan, ada tiga hal yang sangat terkait dengan intoleransi dan radikalisme di kalangan guru di Indonesia. Pertama,islamisme. Bagi Umam, islamisme berbeda dengan Islam itu sendiri.

“Faktor islamisme menjadi satu variabel yang penting terkait intoleransi dan radikalisme guru,” katanya dalam acara Peluncuran Survei PPIM 2018: Survei Nasional Tentang Sikap Keberagamaan Guru Sekolah/Madrasah di Indonesia di Jakarta, Selasa (16/10).
Islamisme, terangnya, merupakan suatu pandangan yang menekankan bahwa bagaimana syariat Islam harus dijadikan sebagai sumber rujukan utama dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam ranah politik.
Sebanyak 62,22 persen guru sepakat bahwa sistem pemerintahan terbaik adalah yang berdasarkan syariat Islam. Sementara, sebanyak 82,77 persen guru mengaku sepakat kalau Islam merupakan solusi atas semua permasalahan masyarakat.
Kedua, demografis. Jenis kelamin, sekolah swasta dan negeri, penghasilan guru, dan jenjang pendidikan juga terkait dengan intoleransi dan radikalisme guru. Misalnya, guru perempuan (mean=46,53) memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain lebih tinggi dari pada guru laki-laki (mean=48,05). Begitu pun dalam intensi aksi radikal: guru perempuan (mean=48,08; mean=50,08), sementara guru laki-laki (mean=55,1; mean=56,3).
“Guru TK atau RA juga memiliki opini intoleran lebih tinggi dibandingkan guru SD, MI, SMP, MTs, SMA, atau MA,” katanya.
Ketiga, ormas dan sumber pengetahuan keislaman. Menurut Umam, keterlibatan guru dengan ormas Islam baik sekarang atau pun saat menjadi mahasiswa juga menjadi faktor yang terkait dengan intoleransi dan radikalisme di kalangan guru.
Para guru tersebut mengaku dekat dengan lima ormas Islam, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan (NW), Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), dan Front Pembela Islam (FPI). Meski demikian, hanya 33,65 persen guru yang mengaku sangat aktif/aktif di ormas Islam tersebut. Sementara sisanya (66,35 persen) mengaku tidak/sangat aktif.
Survei ini dilaksanakan dalam rentang waktu antara 6 Agustus hingga 6 September 2018. Total sampel guru yang disurvei adalah 2.237 orang di 34 provinsi di Indonesia. Tingkat kepercayaan survei ini mencapai 95 persen, sementara margin of errornya 2,07 persen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

twelve + nineteen =

Indonesia